Hari itu, aku diminta untuk mewakili sekolah lagi,
tetapi bukan untuk lomba mata pelajaran biologi. Kali ini, informasi yang
diterima sekolah tidak mendadak dan cukup jelas. Aku sudah diberi tahu sejak
beberapa hari sebelumnya bahwa aku akan mewakili sekolah untuk lomba cerdas
cermat matematika. Jadi, aku sudah menyiapkan diri lebih baik. Aku tidak
sendiri. Aku bersama Mas Bimo dan Mbak Siti.
Pagi itu kami diberangkatkan sendiri dari sekolah,
nanti Pak Sumar akan menemui kami di TKP alias lokasi lomba. Kami berjalan
menyusuri jalanan depan sekolah yang tidak rata, berupa tanah berbatu-batu. Kami
menuju jalan aspal di depan sana untuk menunggu angkutan desa yang lewat
Margasana.
Sepanjang perjalanan, Mbak Siti dan Mas Bimo malah
sibuk membicarakan ulangan fisika yang mereka tinggalkan demi lomba ini.
Sedangkan aku masih diam, merapal banyak dia karena tegang. Hingga kami tiba di
Margasana dan menunggu bis oranye yang akan membawa kami ke kota satria, kota
administrasi kabupaten kami: Purwokerto.
Engkau tentu bisa menebak, Kawan, perjalanan macam
apa yang aku alami. Iya, benar. Perjalanan di pagi yang indah, saat bis melaju
syahdu sementara aku di dalamnya bersama Mas Bimo. Kami tidak duduk
berdampingan, tentu, karena aku duduk bersama Mbak Siti. Tapi semua itu sudah
cukup. Tegang dan gugup yang aku rasakan bukan hanya berasal dari lomba yang
akan aku hadapi, tapi juga dari makhluk bernama Bimo yang duduk diam menekuri
lembaran buku matematika di antara cahaya mentari pagi...
Kami turun di sebuah perempatan besar yang kami
ketahui merupakan perempatan masuk ke kota Purwokerto baik dari arah Ajibarang
maupun Wangon. Namanya Tanjung. Di sana kami harus menyeberang untuk naik
angkutan kota. Angkutan kota di sini bentuknya persis dengan angkutan desa
kami, hanya saja warnanya berbeda. Angkutan kota Purwokerto berwarna oranye. Pas
sekali dengan warna tas Mas Bimo. Entahlah, sejak kenal Mas Bimo, sepertinya
semua alat transportasi menjadi oranye di mataku.
Kami tahu nama tempat lombanya, tetapi tidak tahu
lokasinya. Tadi pagi, Bu Astuti berpesan agar kami naik angkutan oranye
bernomor F1. Mirip jenis balap mobil bergengsi dunia: Formula 1. Dan baiklah,
mobil oranye itu datang, masih kosong. Dia berhenti tepat di depan kami, lalu
langsung saja kami masuki. Mas Bimo sebagai satu-satunya laki-laki dalam
rombongan kami, memastikan tujuan kami pada Pak Sopir.
“UPT Perpustakaan ya Pak?”
Si Bapak sopir angkutan mengangguk, lalu dengan
cepat beberapa anak sekolah juga memasuki angkutan dan mengambil posisi
masing-masing. Maka angkutan ini segera penuh dan meluncur di atas aspal kota
yang halus nan hitam padat.
Aku melihat sekeliling angkutan yang berjalan. Bangunan-bangunan
kota yang megah, pertokoan, minimarket, orang-orang berlalu lalang. Aku pernah
ke Purwokerto sebelumnya, tetapi rute ini belum pernah aku lalui. Lalu angkutan
berhenti di sebuah perempatan lain, dan banyak anak sekolah yang turun di sana.
Aku melihat wajah Mas Bimo dan Mbak Siti yang berharap cemas dan meneliti semua
papan nama bangunan yang dilewati angkutan. Saat kami sibuk dengan pikiran
masing-masing, angkutan berhenti. Pak sopir berkata tanpa memalingkan wajahnya
pada kami.
“UPT,”
“UPT Pak?” tanya Mas Bimo, pak sopir mengangguk.
Lalu kami turun dari angkutan dan Mas Bimo membayar
ongkosnya. Angkutan segera pergi berlalu, meninggalkan kami di tepi perempatan,
depan sebuah pangkalan becak. Aku bingung, dan Mbak Siti juga tampak bingung. Kami
tidak melihat kerumunan siswa SMP ataupun guru-guru yang mengantar siswanya
berlomba. Kami saling bertatapan, sementara Mas Bimo langsung mendatangi
seorang tukang becak dan bertanya.
“Gedung UPT Perpustakaan di sebelah mana ya Pak?”
“UPT Perpustakaan?” Bapak becak tampak bingung,
lalu menoleh pada teman seprofesinya.
“Perpustakaan daerah bukan?”
Kami bertatapan bingung.
“Pokoknya UPT Perpustakaan, Pak,” tegas Mas Bimo.
Bapak-bapak seprofesi itu kembali saling
berpandangan, lalu menatap kami lagi.
“Kurang tau, dek. Coba jalan lurus aja,”
“Lurus ya Pak?”
“Iya, coba aja. Sepertinya ada,”
Kami dilanda kebingungan semakin tidak jelas. Kata
orang, malu bertanya sesat di jalan. Ini kami sudah berani bertanya, tapi
sepertinya masih juga tersesat. Kami saling pandang. Aku menemukan tulisan
petunjuk nama jalan yang berwarna hijau di salah satu tepi perempatan: Jl.
Gatot Soebroto.
“Ya udah coba lurus aja, lagian dari tadi kan
kayaknya belum ngelewatin,” Mas Bimo memberi keputusan, Mbak Siti meragukan.
“Ya abis gimana Ti? Kita ikutin aja rute angkot F1,
kan kata Bu Astuti naiknya F1. Mungkin pak sopirnya yang nggak tau. Lagian nama
jalannya sama kok,” Mas Bimo benar. Aku diam menunggu kesimpulan. Akhirnya,
Mbak Siti setuju bahwa kami sebaiknya berjalan melanjutkan arah rute angkutan
F1, sepanjang Jalan Gatot Soebroto. Itu berarti kami harus berjalan lurus di
jalanan tengah kota yang kami tidak tahu kami ada di bagian mana dari kota
ini...
Maka kami pun berjalan, di atas trotoar pinggir
jalan, kupandang ke arah kiri. Kami berjalan di sepanjang depan sebuah bangunan
besar nan megah yang bertembok keliling tinggi dan memiliki halaman sangat
luas. Itu adalah lapangannya, dan ada tiang Sang Merah Putih yang agung di
bagian tepi lain nun jauh di sana. Bangunan megah itu adalah sebuah sekolah
menengah atas. Aku dan Mas Bimo memandang kagum. Aku hanya tidak tahu bahwa
bangunan itu pun kelak akan menjadi tempat berpusar kembali Sang Angin dalam
simphoni yang lebih indah...
“Ayo cepet, udah mau jam sembilan nih,” Mbak Siti yang
berjalan di sebelah kananku memecah kekaguman. Aku segera berjalan dan fokus ke
depan. Ternyata Mas Bimo berjalan tepat di depanku! Aku menatap tas oranye di
punggungnya, aku menatap dia. Sejauh ini, kulihat Mas Bimo begitu bertanggung
jawab dan tegas dalam perjalanan. Ada kekaguman yang semakin mengalir. Ada sang
angin yang semakin semilir. Jalan Gatot Soebroto akan terus menyimpan senyumku,
kisahku, dan perjalanan ini hingga akhir...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar