Rabu, 08 April 2015

Sang Angin: Semilir Sepanjang Gatot Soebroto

Hari itu, aku diminta untuk mewakili sekolah lagi, tetapi bukan untuk lomba mata pelajaran biologi. Kali ini, informasi yang diterima sekolah tidak mendadak dan cukup jelas. Aku sudah diberi tahu sejak beberapa hari sebelumnya bahwa aku akan mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat matematika. Jadi, aku sudah menyiapkan diri lebih baik. Aku tidak sendiri. Aku bersama Mas Bimo dan Mbak Siti.
Pagi itu kami diberangkatkan sendiri dari sekolah, nanti Pak Sumar akan menemui kami di TKP alias lokasi lomba. Kami berjalan menyusuri jalanan depan sekolah yang tidak rata, berupa tanah berbatu-batu. Kami menuju jalan aspal di depan sana untuk menunggu angkutan desa yang lewat Margasana.
Sepanjang perjalanan, Mbak Siti dan Mas Bimo malah sibuk membicarakan ulangan fisika yang mereka tinggalkan demi lomba ini. Sedangkan aku masih diam, merapal banyak dia karena tegang. Hingga kami tiba di Margasana dan menunggu bis oranye yang akan membawa kami ke kota satria, kota administrasi kabupaten kami: Purwokerto.
Engkau tentu bisa menebak, Kawan, perjalanan macam apa yang aku alami. Iya, benar. Perjalanan di pagi yang indah, saat bis melaju syahdu sementara aku di dalamnya bersama Mas Bimo. Kami tidak duduk berdampingan, tentu, karena aku duduk bersama Mbak Siti. Tapi semua itu sudah cukup. Tegang dan gugup yang aku rasakan bukan hanya berasal dari lomba yang akan aku hadapi, tapi juga dari makhluk bernama Bimo yang duduk diam menekuri lembaran buku matematika di antara cahaya mentari pagi...
Kami turun di sebuah perempatan besar yang kami ketahui merupakan perempatan masuk ke kota Purwokerto baik dari arah Ajibarang maupun Wangon. Namanya Tanjung. Di sana kami harus menyeberang untuk naik angkutan kota. Angkutan kota di sini bentuknya persis dengan angkutan desa kami, hanya saja warnanya berbeda. Angkutan kota Purwokerto berwarna oranye. Pas sekali dengan warna tas Mas Bimo. Entahlah, sejak kenal Mas Bimo, sepertinya semua alat transportasi menjadi oranye di mataku.
Kami tahu nama tempat lombanya, tetapi tidak tahu lokasinya. Tadi pagi, Bu Astuti berpesan agar kami naik angkutan oranye bernomor F1. Mirip jenis balap mobil bergengsi dunia: Formula 1. Dan baiklah, mobil oranye itu datang, masih kosong. Dia berhenti tepat di depan kami, lalu langsung saja kami masuki. Mas Bimo sebagai satu-satunya laki-laki dalam rombongan kami, memastikan tujuan kami pada Pak Sopir.
“UPT Perpustakaan ya Pak?”
Si Bapak sopir angkutan mengangguk, lalu dengan cepat beberapa anak sekolah juga memasuki angkutan dan mengambil posisi masing-masing. Maka angkutan ini segera penuh dan meluncur di atas aspal kota yang halus nan hitam padat.
Aku melihat sekeliling angkutan yang berjalan. Bangunan-bangunan kota yang megah, pertokoan, minimarket, orang-orang berlalu lalang. Aku pernah ke Purwokerto sebelumnya, tetapi rute ini belum pernah aku lalui. Lalu angkutan berhenti di sebuah perempatan lain, dan banyak anak sekolah yang turun di sana. Aku melihat wajah Mas Bimo dan Mbak Siti yang berharap cemas dan meneliti semua papan nama bangunan yang dilewati angkutan. Saat kami sibuk dengan pikiran masing-masing, angkutan berhenti. Pak sopir berkata tanpa memalingkan wajahnya pada kami.
“UPT,”
“UPT Pak?” tanya Mas Bimo, pak sopir mengangguk.
Lalu kami turun dari angkutan dan Mas Bimo membayar ongkosnya. Angkutan segera pergi berlalu, meninggalkan kami di tepi perempatan, depan sebuah pangkalan becak. Aku bingung, dan Mbak Siti juga tampak bingung. Kami tidak melihat kerumunan siswa SMP ataupun guru-guru yang mengantar siswanya berlomba. Kami saling bertatapan, sementara Mas Bimo langsung mendatangi seorang tukang becak dan bertanya.
“Gedung UPT Perpustakaan di sebelah mana ya Pak?”
“UPT Perpustakaan?” Bapak becak tampak bingung, lalu menoleh pada teman seprofesinya.
“Perpustakaan daerah bukan?”
Kami bertatapan bingung.
“Pokoknya UPT Perpustakaan, Pak,” tegas Mas Bimo.
Bapak-bapak seprofesi itu kembali saling berpandangan, lalu menatap kami lagi.
“Kurang tau, dek. Coba jalan lurus aja,”
“Lurus ya Pak?”
“Iya, coba aja. Sepertinya ada,”
Kami dilanda kebingungan semakin tidak jelas. Kata orang, malu bertanya sesat di jalan. Ini kami sudah berani bertanya, tapi sepertinya masih juga tersesat. Kami saling pandang. Aku menemukan tulisan petunjuk nama jalan yang berwarna hijau di salah satu tepi perempatan: Jl. Gatot Soebroto.
“Ya udah coba lurus aja, lagian dari tadi kan kayaknya belum ngelewatin,” Mas Bimo memberi keputusan, Mbak Siti meragukan.
“Ya abis gimana Ti? Kita ikutin aja rute angkot F1, kan kata Bu Astuti naiknya F1. Mungkin pak sopirnya yang nggak tau. Lagian nama jalannya sama kok,” Mas Bimo benar. Aku diam menunggu kesimpulan. Akhirnya, Mbak Siti setuju bahwa kami sebaiknya berjalan melanjutkan arah rute angkutan F1, sepanjang Jalan Gatot Soebroto. Itu berarti kami harus berjalan lurus di jalanan tengah kota yang kami tidak tahu kami ada di bagian mana dari kota ini...
Maka kami pun berjalan, di atas trotoar pinggir jalan, kupandang ke arah kiri. Kami berjalan di sepanjang depan sebuah bangunan besar nan megah yang bertembok keliling tinggi dan memiliki halaman sangat luas. Itu adalah lapangannya, dan ada tiang Sang Merah Putih yang agung di bagian tepi lain nun jauh di sana. Bangunan megah itu adalah sebuah sekolah menengah atas. Aku dan Mas Bimo memandang kagum. Aku hanya tidak tahu bahwa bangunan itu pun kelak akan menjadi tempat berpusar kembali Sang Angin dalam simphoni yang lebih indah...

“Ayo cepet, udah mau jam sembilan nih,” Mbak Siti yang berjalan di sebelah kananku memecah kekaguman. Aku segera berjalan dan fokus ke depan. Ternyata Mas Bimo berjalan tepat di depanku! Aku menatap tas oranye di punggungnya, aku menatap dia. Sejauh ini, kulihat Mas Bimo begitu bertanggung jawab dan tegas dalam perjalanan. Ada kekaguman yang semakin mengalir. Ada sang angin yang semakin semilir. Jalan Gatot Soebroto akan terus menyimpan senyumku, kisahku, dan perjalanan ini hingga akhir...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar