Jumat, 17 April 2015

Sang Angin: Kibarkan Merah Putih

Aku selalu terpana melihat gerakan para pengibar bendera baik di televisi pada upacara pengibaran bendera hari kemerdekaan maupun pada setiap upacara bendera hari Senin. Lihat saja betapa sigap, tangkas, dan tertata gerakannya, melambangkan bukan hanya kebanggaan, kedisiplinan, rasa hormat dan menghargai Sang Merah Putih. Lebih dari itu, aku bisa merasakan ada cinta di sana, di tatapan mata mereka untuk memastikan lipatan dan kibaran sang merah putih, di genggaman dan sentuhan tangan mereka untuk menjaga kesucian dan kebersihannya, dan dari senyum manis yang mengiringi langkah tegap mengantar sang merah putih berkibar di puncak tertinggi tiang yang kokoh.

Pengibar bendera di SMP-ku waktu itu adalah trio yang terdiri kakak-kakak cantik dan tampan. Ada Mas Adin, Mbak Ayu, dan Mas Irfan. Setiap kali upacara bendera pada hari besar nasional, tim petugas upacara inti yang bertugas, maka mataku tak lepas dari setiap gerakan Mbak Ayu yang cantik itu. Jika pada upacara bendera hari Senin biasa, aku melihat pengibar bendera dari setiap kelas sesuai jadwal piket, dan –dengan sok tau- aku bisa mengetahui kesalahan-kesalahan gerak yang dilakukan baik oleh pembawa bendera maupun dua orang penariknya.

Sekali waktu, bendera terpelintir saat dikibarkan, beberapa kali dia terbalik menjadi bendera kebangsaan negera lain, atau entah karena sedang sedih, bendera berkibar setengah tiang sedangkan lagu Indonesia Raya sudah tamat dinyanyikan. Atau sebaliknya. Atau mungkin sikap badan yang kurang tegap, dan gerak kaki tangan yang tidak seimbang. hmmm...

Mbak Ayu sudah naik ke kelas tiga, sementara pembawa bendera cadangan di tim inti adalah Mbak Tyas, yang juga tidak kalah terkenal karena hitam manis dan lincah ceria. Aku sempat termenung dalam hati, jika syarat menjadi pembawa bendera adalah paras yang menarik, maka jelas temanku yang paling manis bernama Sinta itu menjadi kandidat. Dia memenuhi semua kriteria menjadi seorang pengibar bendera. Dia tinggi, badannya langsing, dan sesuai namanya, dia memiliki paras manis yang terkenal juga di seantero sekolah. Tidak heran jika dia pun menjabat sebagai mayoret untuk grup drum band sekolah kami.

Jadi begitulah, aku yang sangat menginginkan menjadi pembawa bendera merah putih di setiap upacara. Hingga suatu hari, kelasku yang mendapat piket menjadi petugas upacara untuk hari Senin yang akan datang. Maka kami pun meminta tolong tim inti untuk melatih kami di sore hari setelah jam sekolah usai. Sebagai pengibar senior, Mbak Ayu menyeleksi beberapa anak di kelas kami, termasuk aku yang langsung mepet ke dirinya, padahal Mbak Ayu jelas melirik Sinta atau beberapa anak yang lebih tinggi dariku.

Namun, karena Shinta adalah mayoret, kakak kelas dari tim inti yang menjadi dirigen senior segera 'mengontrak' Sinta untuk menjadi dirigen, sedangkan untuk penarik suara, tidak lain dan tidak bukan adalah Winda, si pemilik suara emas tiada tanding di kelas kami. Maka Mbak Ayu melakukan seleksi tanpa si Manis Sinta. Dan mungkin sudah kehendak Tuhan, setelah beberapa kali mencoba gerakan membawa dan mengibarkan bendera, Mbak Ayu memilih aku! iya, aku! si kurus nan kecil yang hitam ini!! Aku senang bukan main! Dunia terasa lebih indah dari sekedar melihat Mas Bimo melintas di depan mata!

Setelah latihan hingga hari-H, semuanya berjalan baik dan lancar. Dan, namaku mulai terangkat menjadi pembawa bendera yang cukup menjanjikan.

Pada latihan Pramuka di suatu sore, Kak Prapto bermaksud membentuk tim inti baru sebagai pengganti tim inti senior yang sebentar lagi melepaskan jabatan mereka. Kami membahas susunan organisasi, susunan petugas upacara inti, hingga susunan pelatihan yang mungkin akan dibutuhkan pada setiap sore bagi adik-adik kelas.

Dan ternyata, dalam susunan petugas bendera inti sekolah, aku terpilih sebagai pengibar bendera!! Sinta menjadi dirigen, Winda menjadi penarik suara, Wulan yang juga teman sekelasku menjadi pembaca teks pembukaan UUD '45, dan beberapa anak lainnya berasal dari kelas lain. Dan tahukah kalian, Kawan, siapakah 'pendamping'ku sebagai pengibar bendera di sisi kanan dan kiri???

Mas Bimo dan Mas Bangun!

Ya Tuhaaaan.....

*Kebetulan dua orang teman sekelasku yang menjadi pendamping saat upacara kemarin tidak termasuk pengurus inti Pramuka sekolah kami...

Maka setelah itu kami terkenal sebagai Triple B. Bimo, Bintang, Bangun. Aku sungguh tidak menyangka tentang ini semua. Yang mengherankan, tidak semua dari kami memiliki tinggi seperti Mbak Ayu, Mas Adin, maupun Mas Irfan. Ya, baik aku, Mas Bimo, dan Mas Bangun memiliki tinggi yang rata-rata!! Heheheh...

Maka selanjutnya, entah bagaimana bisa, kami bertiga menjadi trio yang paling sering mendapat 'job', baik pada upacara kegiatan Pramuka, OSIS, maupun upacara-upacara khusus dan hari besar, pengibaran hingga penurunan bendera.

Tahukan kamu hal yang sulit untuk aku lakukan?
Bukan. Bukan bagaimana cara berdiri dan berjalan tegap.
Bukan bagaimana cara menyamakan langkah dan mengompakkan gerakan.
Bukan juga cara mengibarkan bendera dari tiang bawah hingga ke atas.
Tetapi...
Bagaimana cara berkomunikasi kami sebagai tim, yang harus dalam diam mengkoordinasi semuanya agar pengibaran bendera berjalan sebaik mungkin. Pas dengan alunan lagu kebangsaan, sigap, tertata, disiplin, menarik, dan fokus.

Bagaimana?
Iya, dengan berbicara melalui tatap muka dan isyarat mata. Dan selama itu, kami selalu bisa saling berbicara dengan kode lewat mata dan mimik wajah. Aku bahkan kagum pada cara komunikasi Mas Bimo dan Mas Bangun yang begitu mantap, hingga mereka berhadapan di depanku sambil menarik tali bendera, sedangkan aku terdiam takjub pada komunikasi mereka. Mungkin... mungkin trio pengibar lainnya belum tentu bisa sekompak kami ! *halah...

Hmmmm... Tidak ada masalah dalam komunikasi dan koordinasi dengan kode antara Mas Bimo dan Mas Bangun sebagai penarik tali bendera hingga selalu pas mengantar Sang Merah Putih ke ujung tiang sesuai kumandang Indonesia Raya. Aku juga tidak menemukan masalah jika harus saling memberi kode pada Mas Bangun.... Masalahku adalah... Ketika harus menatap dan saling memberi kode kepada Mas Bimo !!

Ya Tuhan... aku selalu takut bahwa tatapan mata dan mimik wajahku 'keceplosan' memberikan kode yang lain -tentang perasaanku padanya-... Mungkinkah memang telah terjadi 'keceplosan' itu, Tuhan???

Maka setiap kali aku tidak bisa mengendalikan diri, aku hanya bisa membayangkan Sang Merah Putih yang bergerak gagah menuju puncak tiang. Ia berkibar diterpa angin segar, seperti hatiku yang berkibar diterpa tatapan Mas Bimo...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar