Minggu, 19 April 2015

Sang Angin: Terasa dari Balik Dinding

Sore itu....

Seperti biasa, hari Rabu adalah saatnya pasukan drum band kami melakukan latihan mingguan. Kami berlatih di lapangan dalam sekolah, di mana dari lapangan ini kami bisa melihat langit biru dan jajaran pegunungan desa di sebelah utara, berlanjut ke arah timur, dengan indahnya. Sementara itu, sepanjang kaki gunung tampak rumah-rumah penduduk yang berkumpul di suatu perkampungan, lalu berlanjut dengan hamparan sawah dan ladang sampai bibir tembok keliling sekolah ini. Memang sekolah mewah yang kami cintai: MEpet saWAH.

Nah, kebetulan aku ikut dalam drum band ini, namun tidak memegang peran sebagai penabuh alat apapun. Aku ditunjuk menjadi kapten mengibar bendera. Maksudku... ketua tim pembawa bendera yang bertugas memainkan dan mengibarkan bendera selama instrumen ditabuh. Padahal aku ingin memegang alat tertentu: pianika, belira, atau pun senar drum.

Selama latihan, berbagai formasi display dilakukan dan beberapa lagu dimainkan. Suara instrumen kami membahana seolah keluar dari persembunyiannya di dalam ruang-ruang udara instrumen, lalu dengan wibawa, nadanya diterbangkan angin sore yang berhembus semilir dari pegunungan di utara sana. Berderam dan berdentum dengan gagah ke seluruh udara di sekitar kami, menambah semangat para penabuh untuk memainkan instrumen. Aku pun membawa benderaku bergerak, memutari penabuh, berlari, berjalan di tempat, melompat dan mengangkat tangan tinggi-tinggi agar bendera warna-warni kami semakin hingar-bingar berkibar dirayu sang angin.

Setelah habis lagu dimainkan, pelatih memberi kami waktu istirahat. Para pemain drum band meletakkan istrumen dengan hati-hati. Beberapa dari kami membentuk kelompok sesama penabuh, saling bertanya dan belajar cara penabuh atau menghapal beberapa not lagu yang sering mereka lupakan saat bermain. Beberapa yang lain sekedar berkumpul biasa, membicarakan hal-hal yang menurut mereka mungkin penting untuk dirundingkan sebelum sore ini berakhir. Beberapa yang paling banyak jumlahnya, berjalan keluar lapangan untuk membeli es campur atau jajanan lainnya dijual oleh kedai kecil di seberang jalan depan sekolah.

Aku dan tim bendera pun melakukan hal yang sama: ada yang duduk merumpi dan pergi. Aku masih memegang tongkat bendera dan memainkannya, saat kudengar bahana suara yang lain mengalun dibawa angin. Suara yang berderap penuh semangat dengan hitungan mantap. Aku penasaran, karena suara itu tersengar berasal dari lapangan depan sekolah, atau teras sekolah. Aku tidak tahu, aku harus ke sana untuk membuktikannya sendiri.

Maka, aku letakkan benderaku, lalu berpamitan pada beberapa teman yang duduk bahwa aku akan keluar. Mereka mengiyakan.

Aku berjalan bersama beberapa anak yang masih menuju kedai, hingga tiba di dinding perbatasan antara parkiran sekolah dengan lapangan luar, aku menghentikan langkah. Ternyata, banyak pemain drum band yang juga berdiri melihat apa yang ada di teras paving depan sekolah. Bahkan ada yang sambil menikmati es campur mereka.

Di sana, ada sepuluh anak dengan formasi yang rapi sedang menggerakkan badan mereka dengan tegap dan mantap mengikuti derap dan hitungan musik dari tape recorder. Di sana juga ada Bu Tuti, guru olah raga kami. Ya, mereka adalah tim senam yang akan diberangkatkan untuk mewakili sekolah ini dalam lomba senam tingkat kecamatan. Di sana ada Santi teman sekelasku, sedangkan sisanya adalah kakak kelas 2. Ada Mba Vira si ketua OSIS yang cantik itu, ada Mas Wanto, Mas Didi, dan... ah, dia yang langsung menyita perhatianku dari seluruh manusia yang tumpah ruah di tempat ini, setelah sekali aku melihatnya. Sudah, aku tidak melihat yang lain lagi. Iya, ada Mas Bimo di sana!

Ya Tuhan....
Kenapa bukan aku saja yang dipilih ikut tim senam?
Kenapa yang ada di sana adalah Santi, bukan aku?
Kenapa Bu Tuti tidak memilih aku?
Aku juga bisa melakukan gerakan senam dengan baik dan mantap begitu.
Aku pernah mendapat nilai tertinggi gerakan senam saat lomba murid teladan kelas 5 SD !
Aku bisa menghapal banyak gerakan senam dan menyesuaikan dengan musiknya!
Kenapa Tuhan?? Kenapaaaaa??!!!

Aku menatap Mas Bimo lekat, kagum akan gerakannya, kelincahannya, dan ... senyumnya yang memang harus selalu terkembang selama senam. Aku mundur, lalu menyembunyikan diri di balik dinding parkiran, sementara kepalaku menyembul dan mataku tak lepas dari sosoknya. Aku masih merutuki Tuhan dengan pertanyaan "kenapa" sambil menatap Mas Bimo, saat tiba-tiba sebuah gerakan harus membuat kepala Mas Bimo menoleh ke kiri, pandangannya pun harus ke kiri: ke arah dinding parkiran tempat aku bersembunyi.

DEG!!

Ke mana jantungku, Tuhan?!
Ke mana napasku??
Ke mana???

Saat mata tajam Mas Bimo menemukanku di balik dinding, aku bahkan belum sempat bersembunyi dan menghidari sinar matanya, seketika seperti ada yang lenyap dari dadaku. Mungkin jantungku, mungkin napasku. Entahlah...

Tapi Mas Bimo segera harus menarik wajahnya untuk menoleh ke arah berlawanan, sehingga aku segera menarik juga seluruh diriku (maksudku kepala dan mataku juga) untuk bersembunyi ke balik dinding. Aku menghela napas, lalu menata kembali debar di dadaku dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa agar beberapa teman tidak curiga dengan kelakuanku ini. Aku berpura-pura menengok jam tangan, lalu secara biasa-biasa saja aku kembali memunculkan diri dan melihat aksi para pesenam itu.

Ada bahana lain di sini.
Ada semilir angin dari pegunungan utara, menembus sumsum hatiku, berputar di sana bersama dentuman jantung dan nada musik senam yang berwibawa.
Sementara pesona Mas Bimo semakin berkibar di mataku bagai bendera drum band yang dibawa berlari mengitari penabuh instrumen... Dia tampan, pintar, dan keren dengan gerakan senamnya...

Tuhan, kenapa??
Kenapa bukan aku saja yang di sana??
Aku terdiam dan terus memandang dengan hati menuntut jawaban Tuhan...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar