Jumat, 24 Juli 2015

Sang Angin: Jaket Hangat Nan Manis

Jaket merah itu ada di genggamanku sekarang. Aku tersenyum menyentuhnya, merasakan setiap jengkal serat halusnya yang hangat. Bayangan manis saat jaket ini menjadi milikku adalah gambaran yang berkelebat, karena jujur saja memang tidak akan pernah kulupakan...
Aku masih ingat hari itu di bulan Maret awal... Aku sibuk bertanya pada teman-teman kuliah yang terkenal menjual berbagai macam pakaian secara online. Aku menanyakan kemeja, kaus trendy, celana jeans, sepatu, sampai segala permen dan gula kutanyakan. Temanku malah melongo gara-gara pertanyaan ngawurku tentang permen dan gula-gula yang tidak dia pahami.
Pokoknya apapun itu aku tanyakan, yang kupikir akan menjadi kado manis untuk Mas Bimo, pacarku. Iya, PACARku! *Akhirnya, setelah bertahun-tahun, Mas Bimo jadi PACARku!!! Harus kutulis tebal dan kapital karena hal itu sangat sensasional bukan main Sampai seorang teman memajang foto jaket couple, maka ide untuk membeli jaket pasangan menjadi satu-satunya yang akan aku lakukan untuk hari ulang tahun Mas Bimo! Iya, itu sempurna.

Aku memiliki sejumlah tabungan yang sudah aku siapkan untuk hari spesial itu: ulang tahun Mas Bimo. Oh ya, tentu saja. Maka aku segera menanyakan pada temanku harga-harga dan model beberapa jaket pasangan. Teman-temanku yang sebelumnya melongo, lalu menjawab dengan lancar bak penjual obat penyakit kulit mempromosikan dagangannya di pasar ikan. Sayangnya, aku tidak bisa mengenali betul bahannya, bagus atau tidak, dan sebagainya. Belum lagi pengiriman dan kapan jaket itu sampai, sedangkan akhir pekan ini aku akan bertemu dengan Mas Bimo. Ya Tuhan, tidak ada waktu lagi! Maka, aku putuskan untuk membeli langsung saja, di mana pun itu.

Siang yang terik. Angin berhembus malas sehingga panasnya mentari terasa membakar kulit yang terpapar, dan merebus kulit yang tertutup pakaian dengan keringat lengket. Ugh...

Aku telah berjalan kaki menyusuri banyak toko dan distro, tetapi tidak kutemukan jaket pasangan yang kurasa cocok untuk aku dan Mas Bimo... Aku tidak putus asa, aku terus mencari. Aku telah menyiapkan skenario manis untuk Mas Bimo, dan tentu aku ingin semuanya berjalan sesuai rencana. So Sweet!

Sampailah aku di sebuah pusat perbelanjaan. Selain suasana di dalamnya yang adem, akan ada banyak pilihan di dalamnya. Aku berjalan sambil terus menebar pandang. Beberapa kali pasangan-pasangan jaket dengan berbagai model menarik perhatianku. Aku dekati, aku pegang jaket itu, dan aku bayangkan bagaimana aku dan Mas Bimo akan memakainya bersama. Pasti so sweet! Ah, sayangnya, jaket-jaket keren itu tidak bisa aku beli dengan budget-ku sebagai anak kuliahan... hmmm.,..

Maka aku kembali berusaha mencari jaket yang lumayan bagus dan harganya sesuai anggaran. Mas Bimo, andai aku punya uang banyak, jelas aku tidak akan sulit begini membeli hadiah untukmu. Apapun itu asalkan bagus, pasti akan kubeli dan kuberikan untukmu!!

Dan... yah, akhirnya jaket ini yang aku temukan bersama pasangannya. Bahannya cukup tebal dan warnanya lembut. Aku suka, aku berharap Mas Bimo juga suka. Aku tersenyum saat menerimanya dari kasir distro. Si penjaga distro memuji kami, aku dan Mas Bimo, sebagai pasangan yang manis dan romantis. hehehe, dasar penjual! Tapi aku akui, aku memang seorang yang manis dan romantis!

Sesampainya di rumah, mama bertanya heran saat aku membungkus jaket yang akan aku serahkan pada Mas Bimo.
"Ra, kok yang dibungkus yang kecil sih? Kamu salah mbungkus ituu,," kata mama bercampur protes. Aku hanya tersenyum, dan membayangkan skenario 'romantis' ini...

Jaketku akan terbungkus rapi, lalu saat aku menyerahkannya pada Mas Bimo, dia akan membukanya dengan senang. Aku akan meminta Mas Bimo untuk mencoba jaket itu. Dengan senang hati dan berterima kasih, Mas Bimo pun memakainya. Apa yang terjadi kemudian? Iya, tentu saja: kekecilan! Hehehe... Mas Bimo akan heran, tetapi berusaha mengepaskannya ke badan. Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya menerima pemberianku yang ternyata tidak sesuai dengannya. Kupikir nanti di masa depan pun, akan ada saatnya Mas Bimo harus menerima apapun dariku yang tidak sesuai dengannya, dan aku ingin dia pun memahami itu... Aku akan melihat Mas Bimo tampak risih dengan jaket yang kekecilan itu, lalu aku tersenyum padanya sambil bertanya apakah dia suka. Aku bisa bayangkan dengan geli bagaimana dia nyengir terpaksa dan berkata suka sambil memperbaiki posisi jaket yang tidak nyaman di badannya. 

Kemudian aku meminta Mas Bimo membukanya lagi, dan dia menjadi semakin heran, tapi dia menurut. Kupikir di masa depan nanti, akan ada saatnya juga dia terpaksa menuruti mauku walaupun dia tidak benar-benar mengerti apa mauku. Heheheheh... Dan tentu saja Mas Bimo melepas jaket itu, lalu aku akan memintanya. Kemudian, dengan tangan yang lain, aku mengeluarkan jaket Mas Bimo yang sebenarnya, dari dalam tas. Jaket yang justeru tidak dibungkus! Hahaha
Lalu aku berikan jaket itu pada Mas Bimo sambil tersenyum usil. Dan dengan merasa konyol karena dikerjai, Mas Bimo pun tersenyum dan menerima jaket miliknya dengan senang, karena akhirnya dia tahu bahwa jaket itu bukan hanya satu untuknya saja, melainkan jaket pasangan. Aku juga memiliki pasangannya yang berwarna, bermodel, dan bermotif sama persis, hanya ukurannya yang berbeda. Dia menatapku gemas karena keusilanku sambil memakai jaket itu ke badannya, sedangkan aku tertawa puas. Dan akhirnya, aku pun memakai jaket yang sama! Mas Bimo memakai jaket yang aku berikan, sedangkan aku memakai jaket yang telah ia kenakan. Kami memakai jaket pasangan, dan Mas Bimo memasukkan jaket yang sebelumnya ia pakai ke dalam bagasi motornya. Well, akhir cerita, kami pulang dengan jaket hangat yang sama, melawan terpaan sang angin yang menggigilkan malam...
So Sweeeeeeeeettt!!!

Aku tersenyum, mama semakin bingung....

Mas Bimo menjemputku, lalu berpamitan pada mama dan papa untuk membawaku makan malam sebentar ke luar. Aku menatapnya saat dia berbicara dengan kedua orang tuaku.  Sopan, dewasa, ramah, dan penuh tanggung jawab. Aku jatuh hati... Lagi...

Di sebuah restaurant indah di kawasan Bekasi, aku makan malam dengan menyenangkan bersama Mas Bimo. Kencan kami, seperti biasa, duduk berhadapan, memakan makanan masing-masing, dan saling menceritakan hari-hari yang kami lalui. Mas Bimo bercerita tentang pekerjaan di kantor yang menguras energinya, kemudia disambung ceritaku mengenai dunia kampus: kuliah yang kadang membosankan, kegiatan yang seru, rapat organisasi yang alot, dan sebagainya...

Setelah selesai makan, kami pun bersiap pulang. Di parkiran motor, saat dia bersiap memakai jaket motornya, aku menghentikan, lalu kuucapkan selamat ulang tahun untuknya sambil menyerahkan bungkusan kado itu. Mas Bimo tersenyum senang, dan menerima pemberianku dengan senyum terkembang.

"Makasih ya," katanya lagi sambil menatap wajahku dengan senyum tampannya. Aku tersipu.
"Mas buka sekarang boleh?"
"Iya, bukalah,"

Senyum Mas Bimo kembali terkembang saat membuka lipatan jaket. Dia menatapku lagi dan berterima kasih. Aku meminta Mas Bimo memakainya, lalu Mas Bimo pun memakai jaket itu.

Benar. Senyumnya yang bersinar tiba-tiba redup karena ukuran jaket yang tidak sesuai badannya. Dia mencoba mengepaskan jaket itu berkali-kali, tetap saja ketat dan tidak nyaman. Wajahnya tampak memaksakan senyum.
"Bagus... Tapi, kekecilan kayaknya (?)"
Giliran aku yang tersenyum lebar.
" Ya iyalah, itu kan jaket aku,"
Mas Bimo melongo heran.
"Jaket Mas yang ini," kataku sambil menyerahkan jaket yang aku keluarkan dari tasku.
Mas Bimo tampak bingung, lalu aku meminta Mas Bimo melepas jaket yang sedang ia kenakan. Mas Bimo masih tampak heran, tetapi tetap menurutiku. Aku terus tersenyum. Kemudian, Mas Bimo memakai jaket ukuran cowok itu, lalu tersenyum sumringah.
"Ini baru pas, hehehe,"
Aku terkekeh, lalu mengambil jaket ukuran cewek dari atas jok motor dan memakainya.
"Kena deh, dikerjain, hehehe,"
Mas Bimo tersenyum lebar, lalu seperti biasa, dia minta kami berfoto. Maka kami pun berdiri bersebelahan dan mengambil foto selfie bersama dengan memakai jaket couple itu. Beberapa jepretan tidak pas. Aku sendiri gugup saat berdiri dekat denga Mas Bimo, Mas Bimo pun tampak canggung. Sampai beberapa kali jepretan, hasilnya tetap sama: kabur, tidak pas, tampak aneh, buram, dan lain-lain.



"Ya udah deh, cahayanya jelek di sini. Lain waktu aja fotonya. Sekarang pulang yuk, udah jam sembilan, nanti kemaleman," kata Mas Bimo.
"Iya," Kataku setuju.

Mas Bimo menaruh jaket motornya ke dalam tas gendong dan bersiap menyalakan motor. Aku pun bersiap membonceng. Aku sempatkan menanyakan sesuatu pada Mas Bimo.
"Mas suka?"
"Suka," katanya sambil tersenyum. Garing...

Deg.

Apa yang salah?
Apa yang kurang?
Atau tidak pas?

Entah mengapa aku merasa Mas Bimo menjadi berbeda saat itu. Apa karena dia gugup karena hampir terlalu malam mengantarku pulang? Atau jaket pemberianku sebenarnya tidak terlalu dia suka? Atau leluconku garing baginya?
Tapi kami terus melaju menembus angin...

Resah itu sirna saat setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, Mas Bimo kembali berkata dengan senyumnya yang manis...
"Sekali lagi makasih ya jaketnya, Mas suka," Mas Bimo menatapku, lalu katanya, "Ya udah, Mas pamit ya?"
"Jangan lupa kabar-kabar kalo udah sampe ya,"
"Iya," Mas Bimo tersenyum lagi.
Setelah mengucap salam, Mas Bimo pergi.

Aku merasakan kehangatan jaket ini, kehangatan di badan karena serat bahannya.
Aku menikmati kehangatan jaket ini, kehangatan di hati karena jaket ini telah dipakai di badan Mas Bimo sebelumya.
Aku menyimpan kehangatan jaket ini, kehangatan di senyumku karena jaket ini menjadi saksi senyum Mas Bimo tadi.
Aku tersenyum dalam syukur, karena semua baik-baik saja. Manis!

Jaket ini aku lipat kembali, lalu kusimpan sebaik-baiknya.
Ah, tentu saja dengan senyum hangat yang sempurna manisnya :)