Kamis, 26 Maret 2015

Senandung Gerimis

Gerimis di awal musim hujan, 2012...

Aku diam. Sekonyong-konyong limpahan kenangan berkelebat dalam benakku. Samar namun pasti, satu per satu muncul bagai aku melihatnya pada layar lebar. Mulutku tertutup, belum ingin mengatakan apapun. Sementara kamu juga masih menatapku. Aku menunduk, menyusun tiap derai napas dan kata dalam rangkaian kalimat yang mungkin akan aku ucapkan.

Semua berawal dari pertemuan pada pelantikan Pramuka Penggalang di SMP kita. Saat itu kamu baru saja lulus dari sebuah SMA ternama di daerah kita, dan aku baru naik ke kelas 2 di sebuah SMA ternama di kota kabupaten kita. Itu adalah liburan semester genap. Dua hari dua malam kita di perkemahan sebagai panitia pelaksana dan kakak pembimbing bagi adik-adik Pramuka. Di sana kita berjumpa lagi setelah kurang lebih dua tahun terpisah dari hubungan kakak-adik kelas. Setelah kamu lulus dari SMP dulu, aku tidak pernah lagi tahu tentang kamu. Aku juga tidak ingin tahu. Semuanya belum penting bagiku.

Namun, ada yang berbeda pada pertemuan di perkemahan ini. Aku tidak tahu apa dan mengapa. Akhirnya, kedekatan-kedekatan selama kegiatan pelantikan berlanjut lewat pesan-pesan singkat dari ponsel ke ponsel. Hingga kamu pergi ke kota metropolitan, kita masih menjaga komunikasi. Tanpa pertemuan langsung, dengan cukup meyankinkan kamu memintaku menjadi pacarmu malam itu, lewat telepon! Aku katakan bahwa aku butuh waktu 2 hari untuk berpikir, padahal aku pun memiliki perasaan yang sama. Perhatian, kepedulian, dan kebaikanmu membuatku lupa pada cowok lain yang sebenarnya saat itu sedang kusukai.

Tanggal enam, bulan enam, tahun dua ribu enam Kita menjadi sepasang kekasih jarak jauh. Makin hari, kamu makin peduli dan dengan pasti, sejalan bersama kedekatan kita, kamu pun merebut hatiku sepenuhnya. Kita hanya melepas kerinduan lewat kata-kata lucu di pesan singkat, melalui suara dari seberang sana aku mendengar ucapan sayangmu setiap malam. Setiap malam! Sesekali kita berbagi foto melalui akun Friendster, memberi komentar lucu dan meledek satu sama lain.

Empat bulan kemudian, akhirnya kita bertemu. Andai kamu tahu, tak ada lagi yang aku rindu selain kamu, tak ada lagi yang kutunggu selain kedatanganmu, tak ada lagi yang mengisi pikiranku selain kamu. Semuanya kamu! Pertemuan yang mendebarkan, saat aku mencoba menghubungimu dari tempat kita janjian. Aku meneleponmu, lalu jawabmu: 'halo?' dari belakangku. Aku menoleh terkejut, dan kamu tersenyum. Senyum yang begitu manis hingga aku terpaku!

Selama kamu berada di desa, kita pun sering berjumpa. Sering kali kamu sengaja membawa motor Jupitermu yang merah itu lewat depan rumahku di sore hari, setelah memberi tahuku agar duduk di teras rumah, atau berdiri di halaman. Apapun, asal saat kamu lewat, kamu bisa melihatku. Aku pun juga melakukan hal yang sama, saat aku harus pergi, maka aku sengajakan untuk lewat depan rumahmu, menoleh dan memandang senyum manismu.

Malam Minggu, aku pun katakan pada kedua orang tuaku bahwa akan ada yang datang menemuiku: kamu. Mereka mengizinkan saja. Dan beberapa kali kamu pun datang. Kita mengobrol ringan di ruang tamu, duduk berhadapan saling bertukar senyum dan cerita-cerita lucu atau sekedar curhat mengenai keseharian. Saat hari libur, kita menikmati semangkuk soto khas daerah kita, atau es teh di warung makan setelah seharian berkeliling dengan motormu. Tapi semua itu berakhir saat kamu harus kembali ke kota dengan niat akan kuliah sambil bekerja. Maka aku pun melepasmu dengan senyum walaupun tak rela.

Waktu berlalu...

Tidak ada hubungan tanpa masalah. Dari kamu tidak diterima di salah satu perguruan tinggi ternama yang sejak lama kamu idamkan, penurunan prestasi belajarku hingga persoalan keluarga mulai mengusik hubungan kita. Tapi nyatanya, kita tetap berusaha bertahan bersama. Aku selalu percaya kasih sayangmu, dan kamu pun tahu bahwa aku menyayangimu. Aku ingin tetap bersamamu, mengerti apapun keadaanmu, menerima bagaimanapun dirimu. Kita seolah bisa berbagi kasih dalam kejauhan ini, saling mengerti dan menerima sepenuh hati.

Pelan tapi pasti, masalah-masalahmu menjadi masalah-masalahku juga. Apa yang engkau alami, masuk ke dalam alam pikir dan mimpiku. Aku banyak ikut memikirkanmu, keadaanmu, semua tentangmu di sana. Aku berikan sepenuhnya perhatianku agar kamu tetap tegar menghadapi semuanya. Aku selalu yakinkan bahwa aku ada di sisimu, dan bahwa kamu tidak sendirian. Dan kemudian, aku terpuruk... Prestasi belajarku, organisasi, pertemanan, semua terbengkalai karena aku begitu fokus padamu! Maka kemudian sesak itu datang saat segalanya kurasa melayang dan jatuh berdentuman.

Andai kamu tahu, aku banyak menangis di tengah malam, aku sering ingin menjerit di kala siang. Kedua orang tuaku kecewa, dan aku semakin menanggung kesedihan yang tertahan dalam dada. Sulit bagiku mengerti arti kata dan angka dalam buku Kimia, Fisika, Matematika, bahkan Bahasa! Butuh perjuangan bagiku untuk membuka buku di malam hari, mengerjakan tugas saja harus aku lakukan saat dini hari, itu pun jika aku terbangun. Kalau tidak, aku sudah bersiap sejak pagi meminjam hasil pekerjaan teman. Aku tidak pernah lagi merangkum materi pelajaran, membaca pun bagiku menjadi sebuah perjuangan yang sulit aku menangkan. Sederhana, karena setiap malam aku habiskan untuk berbicara denganmu lewat pesan-pesan atau sekedar berteleponan. Atau... Seringkali karena sulit bagiku berkonsenterasi, sehingga aku malas dan tidak sepenuh hati.

Siang itu, kamu masih menanyakan apakah aku sudah makan. Lalu di pangkal malam, kau mengabariku dengan nomor berbeda, bahwa ponselmu baru saja hilang, mungkin dicuri teman. Kamu tidak akan bisa dihubungiku lagi entah sampai kapan. Kamu berjanji akan menghubungiku sebisa mungkin, tapi selama kamu belum menemukan pekerjaan dan belum bisa membeli ponsel pengganti, maka kita tidak bisa berkomunikasi dengan nyaman. Lengkap sudah, hubungan jarak jauh kita makin sempurna. Tapi kamu harus tahu bahwa aku masih bersamamu. Aku selalu berdoa untuk kebaikanmu, selalu berharap diberi petunjuk yang terbaik bagi kita.

Komunikasi kita terhambat, sementara aku kian gelisah tanpa kabar darimu. Hari-hari berlalu dengan rasa khawatir tak berujung, menanti beritamu atau paling tidak ucapan selamat pagi darimu, pertanyaan sudahkan aku makan, atau selamat malam. Tidak ada. Aku kesepian... Aku tidak mengerti bagaimana tepatnya, tetapi sepertinya kamu mulai kehilangan kepercayaan atas dirimu sendiri. Kamu merasa bersalah dan bertanggung jawab atas semua keterpurukanku. Kamu mulai merasa tidak pantas untukku. Sedangkan aku susah payah berusaha mempertahankanmu, mempertahankan kita. Apapun yang terjadi, aku tetap ingin memilikimu. Iya, tetap memilikimu adalah harapanku sebagai seorang remaja yang jelas sedang dirundung asmara: memiliki kekasih pada hari ulang tahun ke-17.


Menjelang hari istimewa....

Malam itu, aku bahkan belum selesai bercerita kepada sahabatku bahwa aku bahagia karena memilikimu. Aku masih bercerita dengan tersenyum, bahwa aku sangat menyayangimu seperti kamu menyayangiku. Lalu, tiba-tiba pesan singkat itu masuk ke ponselku...

kita berteman saja. maaf...

Pesan singkat, tanpa nama. Saat itu juga aku terdiam. Jantungku berdegub tidak karuan, napasku mulai tidak beraturan. Aku menduga, tetapi menolak untuk percaya. Aku butuh kepastian, saat itu juga. Aku pun membalasnya dengan singkat.

ini siapa?

Dengan jantan, kamu tulis namamu sebagai balasan pertanyaanku. Darahku berdesir, mataku panas, aku gemetar. Aku menelpon nomor itu.

"Halo?"
"Ya..."
Tidak salah lagi, itu suaramu. Terdengar lesu.
"Maksud kamu apa?"
"Ya... itu. Kita berteman aja."
"Aku salah apa?"
"Nggak ada..."
"Terus kenapa begini?"
"Kamu nggak salah..."
"Terus kenapa?"
"Aku bukan yang terbaik buat kamu..."
"Oh, ada yang lain ya?"
"Nggak, bukan begitu. Sumpah. Maaf. Aku cuma pengen sendiri dulu... Maaf ya..."

Lalu hubungan suara jarak jauh itu pun terputus, seperti hubungan jarak jauh ini, putus sepihak! Aku tidak terima. Aku kembali menghubungi nomor itu. Ditolak. Lagi, dan kembali ditolak. Aku mengirim pesan agar kamu mau mengangkat. Tidak dibalas. Aku menelepon kembali. Tidak aktif lagi... Dan air mataku meleleh tanpa henti, hingga pangkal pagi...

Hari berikutnya, aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku seperti ingin tidur sejenak, lalu bangun dan mengetahui bahwa aku hanya sedang bermimpi. Semuanya terkendali dan baik-baik saja. Atau aku terpejam sebentar, mungkin ini hanya khayalan dan andai-andai karena ketakutanku akan kehilanganmu. Tetapi, pagi memang menawarkan kisah yang baru: aku tanpamu. Ini kenyataan.

Aku masih terus mencari alasan darimu. Aku menanyakan semua ini pada teman-temanmu, terutama teman dekatmu.
"Dia emang lagi banyak masalah, Fi. Terakhir ngobrol emang dia katanya pengin sendiri. Udah aku cegah supaya nggak gegabah. Tapi, ya udahlah, mungkin ini yang terbaik buat kalian." begitu jawaban sahabatmu.
Lalu kamu menghilang, tanpa kabar, entah ke mana. Sahabatmu pun tidak tahu kamu di mana! Kamu menghilang. Ke mana lagi aku harus mencarimu? Atau minimal mencari tahu tentangmu? Aku tidak tahu lagi...

Malam istimewa...

Teman-teman kost ku masih bergembira dan menikmati kue tart tengah malam itu di kamarku. Aku tahu, mereka berusaha dengan baik untuk menghiburku. Mereka tahu apa yang terjadi padaku, mereka mengerti bagaimana aku. Lalu handphone-ku berbunyi. Panggilan dari nomor baru. Aku menatap teman-teman, lalu mereka mempersilakan aku untuk menerimanya. Mereka juga tahu bahwa dalam diam, aku mengharapkan ucapan darimu, yang entah ada di mana saat itu.

Aku masih diam menerima panggilan itu. Di antara harapan bahwa itu adalah dirimu dan berjaga-jaga saja mungkin itu panggilan orang iseng atau salah sambung.

"Halo?" itu suaramu di seberang sana!
"Iya,"
"Selamat ulang tahun ya? Semoga panjang umur, sehat selalu, dan cita-cita tercapai. Sukses selalu yah,"
"Amin. Makasih."
"Maafin aku ya?"
Aku berdoa dan berusaha agar tidak menangis saat mendengar suaramu, saat bicara denganmu. Tetapi air mata mengalir begitu saja. Aku diam.
"Kamu nangis?"
"Iya, udah aku maafin."
"Aku banyak masalah. Aku cuma pengen sendiri. Maaf ya?"
"Iya. Ya udah, makasih buat ucapan dan doanya."
"Iya.... Sama-sama,"

Ada beberapa detik kecanggungan di sana. Aku tidak ingin mengakhiri ini semua, pun tidak ingin mengakhiri percakapan ini. Kamu juga diam, entah apa yang kamu pikirkan. Aku teringat teman-temanku yang menanti.

"Ya udah. Sekali lagi makasih ya,"
"Iya."
Setelah berucap salam, sambungan telepon pun terputus.

Waktu terus berlalu...



Aku selalu ingin kamu tahu, bahwa aku merindukanmu. Aku meradang di pangkal pagi hingga ujung senja. Aku merana dari titik terang siang, hingga sudut gelap malam. Melodi-melodi lagu sedih menjadi temanku di malam hari, lalu terus terngiang di siang hari. Dan kamu tetap tidak ada kabar sedikitpun... Kamu menghilang. Bayanganmu menyingkirkan setiap laki-laki yang mendekatiku. Tidak ada yang mampu mengobati lukaku karena kehilanganmu. Setiap kenangan tentangmu beriring bersama derai napasku. Sekeras apapun aku mencoba, aku selalu gagal melupakanmu. Segila apapun aku berusaha mencari tahu tentangmu, tetap saja hanya menyisakan rasa penasaran yang menghujam hatiku. Kisah tentangmu, tentang kita, menjadi curahan hati terindah yang kutulis di setiap lembaran buku harianku. Aku selalu berdoa akan keajaiban saat tiba-tiba kamu datang, atau tanpa sengaja kita bertemu.

Nihil...

Lalu aku sadari, semua tentang kita sudah berakhir. Maka aku pun harus mengakhirinya dengan tegas dan berani. Aku herus tega pada diriku sendiri agar tidak terus-menerus mati suri. Aku harus menghapus semua fotomu dan foto kita. Aku singkirkan semua catatan tentang kita agar tidak mudah kuambil untuk diratapi lagi. Aku harus belajar hidup tanpamu. Aku harus berdamai dengan kenangan, masa lalu, dan perasaan yang tidak menentu. Aku tidak perlu berjuang keras untuk melupakanmu, aku hanya perlu mengingatmu dengan tenang dan perasaan terkendali. Aku akan berperang dengan keterpurukanku. Biar saja dirimu pergi, dan aku belajar merelakan. Biar saja kisah kita menjadi kenangan dan memberi banyak pelajaran...

Aku telah menghabiskan bertahun-tahun dalam ketidakpastian dari suatu hubungan yang hanya berjalan hanya dalam jangka bulanan. Aku telah mencintaimu secara berlebihan. Aku telah mengorbankan waktuku hanya untuk mengejar jejakmu yang samar. Aku ingin kembali seperti dulu, saat aku tanpamu. Aku mulai menyadari, bahwa aku telah berjalan terlalu jauh dalam pilu dan sendirian. Sudah saatnya bagiku untuk kembali dari petualangan tanpa hasil ini. Aku harus bangkit, aku ingin melihat senyum mereka yang selalu ada untukku. Aku ingin lebih menyadari kehadiran mereka yang nyata dalam hidupku. Aku ingin sembuh dari sakit berkepanjangan ini. Aku ingin berlari kembali mengejar semua mimpi yang tertunda, terlunta oleh angan-angan tak pasti tentang kita.

Setelah semua berlalu. Saat aku telah mampu merelakanmu, aku pun sudah terbiasa dengan kesendirianku, menikmati tiap jengkal napas yang lebih damai tanpamu. Segalanya telah menjadi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana bangkit ke puncak keberhasilan dari palung keterpurukan. Dan sekarang, setelah waktu dan ruang berganti, di kafe sebuah mall di kota yang jauh dari desa kita, jauh dari bayangan kita sebelumnya, kamu duduk di hadapanku! Kita berhadapan. Aku mencoba menatapmu dan yang kutemukan masih sama: rasa itu.

Tidak ada kata-kata, hanya kecanggungan yang melanda...

"Kamu sekarang pake kerudung nambah cantik, Fi," Katamu sambil tersipu, memecah keheningan.
Aku tersenyum, "Makasih,"
"Makin seneng liat kamu sekarang," katamu dengan senyum tulus.
Aku heran sekaligus senang mendengar itu. "Makin seneng gimana tuh maksudnya?"
Kamu tersenyum, senyum yang sama manisnya seperti dulu.
"Iya, sekarang kamu udah jadi mahasiswi. Udah jadi wanita yang luar biasa,"
"Emang sebelumnya aku gimana?"
"Iya, dulu kan kamu masih SMA, masih abg. Nggak dewasa kayak sekarang," katamu sambil tersenyum dan menunduk menatap cangkir cappucino yang kamu genggam.
Entah bagaimana, aku merasa bahwa kamu menyiratkan sesuatu dari ucapan itu.
"Ooh, jadi dulu aku nggak dewasa? gitu?" aku memberi tanggapan dengan maksud bercanda.
"Ya, nggak juga sih. Maksudnya sekarang lebih dewasa lagi, gitu,"
Aku tersenyum, "Ya, syukur deh kalo keliatan begitu,"
"Kamu emang hebat, Fi. Dari dulu nggak berubah,"

Apa maksud perkataannya itu? Aku menatapmu dengan lebih tajam dan dahi berkerut. Kamu malah tersenyum.

"Iya, kamu hebat. Semua tahu, kamu hebat. Dan setelah semua yang terjadi sama kita, kamu bisa jadi begini sekarang. Kamu hebat,"
"Maksudnya gimana sih, Mas?"
"Aku bangga pernah jadi bagian dari hidup kamu. Yaah, walaupun jadi bagian yang bikin surem,"
Kamu berhenti sejenak, seolah menimbang kembali kalimat yang akan kamu ucapkan. Sedangkan aku diam, menanti kalimat-kalimatmu selanjutnya.
"Aku udah bikin kamu yang bersinar, berprestasi, dan cemerlang... jadi redup... Aku juga yang ninggalin kamu dengan nggak jelas..."
Aku menangkap permohonan maaf dari nada ucapanmu. Kamu masih menunduk, memainkan krim cappucino dengan sendok, seperti tidak berani menatapku.

Aku tersenyum, ingin sekali berkata bahwa aku sungguh menyetujui semua ucapanmu.

"Ya udah lah, yang udah ya udah, Mas," akhirnya, kalimat itu yang keluar, seakan aku sedang mendamaikan hatimu yang kacau karena rasa bersalah dan kikuk pada pertemuan ini.

"Iya... Seneng liat kamu begini. Mungkin dulu kalau masih sama aku, kamu bisa lebih parah lagi dari waktu itu, Fi..."
"Maksudnya?"
"Ya kamu liat aku sekarang, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Kerja juga jadi kuli. Dari dulu, aku udah sadar, kalo aku nggak pantes buat kamu. Kamu itu perempuan hebat, kamu berhak dan harus dapet yang lebih dari sekedar aku lah,"

Kamu begitu merendah, dan entah bagaimana kata-kata itu menusuk hatiku. Aku teringat saat-saat kamu menelponku untuk memutuskan bahwa kita berteman saja.

"Aamiin, deh Mas," jawabku singkat, masih menunggu apa yang akan kamu ucapkan lagi.

"Waktu itu kamu masih sekolah, nggak seharusnya kamu kebawa sama keadaan aku yang nggak jelas... Apalagi sampe prestasi kamu turun hanya karena pacaran, Fi... Orang tua kamu dan semua orang yang sayang sama kamu, pasti sedih..."

Aku tersenyum, mengakui kebenaran kata-katamu.

"Mereka pasti pengen yang terbaik buat kamu, Fi..."
"Iya, Mas,"
"Dan bener kan? Kamu emang hebat. Kamu bisa kayak sekarang setelah semuanya,"
Aku tersenyum getir. Seolah mudah sekali dia mengatakan bahwa aku hebat, padahal untuk semua itu aku butuh perjuangan yang luar biasa. Untuk menutupinya, aku pun akhirnya terkekeh.
"Hebat apanya, Mas?! Galau mulu, iya! Hehehe,"
Kamu tersenyum, "Dan udah bisa kamu atasin, kan? Nggak kayak aku..."

Aku terkejut dengan kalimat terakhirmu, tapi tiba-tiba kamu mengubah topik pembicaraan,

Dalam diam, tiba-tiba ingin kukatakan bahwa aku pun masih percaya pada sinar matamu, pada kesungguhan kata dan hatimu yang memancarkan ketulusan perasaanmu. Tetapi seperti ada jurang pemisah di antara kita. Mungkin waktunya yang tidak lagi tepat, mungkin karena kita memang telah berbeda. Aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama, melepaskan semua yang kupunya dengan kerelaan yang terpaksa. Aku tidak ingin menangisi kegagalan lagi, hanya karena asmara remaja yang memabukkan sementara, namun menyita segala cita-cita muda. Kurasa cukup saja. Aku sudah relakan semua, perasaanku padamu sudah berada dalam dimensi yang berbeda....

Tibatiba pertanyaan itu terlontar dari mulutku

Obrolan berlanjut pada pekerjaanmu sekarang di salah satu mall besar di ibukota dan bagaimana kamu menjalaninya dengan senang hati walau tidak mudah. Kita juga tidak membicarakan masih ada perasaan di antara kita atau tidak. Lagi, entah bagaimana aku tahu, bahwa perasaan itu masih ada. Perlahan aku sadari, bahwa obrolan kita bukan tentang kembali seperti dulu atau bernostalgia mengenang masa lalu. Tapi ini tentang bagaimana cara kita menjalani rasa itu dengan cara baru.

Suatu cara bahwa kamu menyayangiku dengan tulus, melepasku demi kebaikanku. Suatu kesadaran bahwa bagaimanapun dulu aku pernah sangat ingin bersamamu, sekarang tidak lagi begitu. Suatu pengertian bersama bahwa apapun yang dulu menjadi alasan kita penah bersatu, kini menjadi hikmah kehidupan tentang harapan dan cinta yang berliku.

Ah... Memang benar... Jika dulu kamu tidak meninggalkanku, aku tidak akan belajar untuk bangkit dari jurang keterpurukan. Andai pun kita masih menyatu, belum tentu juga keadaanmu lebih baik dari sekarang. Mungkin begini cara-Nya menjawab doa-doaku, dan mungkin juga doa-doamu untukku. Aku pun tidak lagi menyesali keterpurukanku. Bisa jadi, jika aku tetap 'bersinar' saat SMA dan baru mengenal asmara saat kuliah, lalu berlebihan dan jatuh... Maka itu akan lebih parah. Dan perlahan aku juga menyadari, bahwa selain karena ingin menyelesaikan masalah-masalahmu sendiri, alasan lainnya kamu pergi adalah karena kamu ingin aku 'bersinar' kembali....

"Maaf, aku ada kuliah satu jam lagi. Aku mau balik ke kampus."
Setelah lama berbincang di kafe siang mendung itu, aku berpamitan. Memang, ada kuliah siang itu. Tapi alasan utama aku pergi adalah karena aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan lagi untuk semakin menyadari bahwa setelah sekian lama, aku menemukan dirimu dengan perasaan untukku yang sama.

"Oh gitu, oke deh. Makasih ya, ngobrolnya,"
"Sama-sama, makasih juga traktirannya. Lain waktu bisa lanjut lagi ya,"
"Oke,"
Aku mulai beranjak dari tempat duduk saat rintik gerimis datang. Kita sama-sama memandang ke luar kaca kafe.
"Yah, mulai ujan, Fi. Kamu bawa payung?"
Aku menggeleng. Lalu kamu membuka tasmu, dan mengeluarkan sebuah payung.
"Nih, pake aja,"
Aku belum menjawab, mempertanyakan bagaimana denganmu sendiri.
"Tenang, aku ada jaket kok, lagian sebentar lagi aku juga masuk shift kerja," katamu tulus menenangkan.
"Ya udah, buruan. Mumpung ujannya belom deres. Biar nggak telat juga nyampe kampusnya,"
Aku tersenyum, "Nggak usah, Mas, makasih,"
Kamu tampak kecewa, sementara gerimis semakin deras.
"Jangan gitu, Fi. Kita kan temen,"
Aku memandang wajahnya, mencari kejujuran. Tidak kutemukan. Aku hanya melihatmu meletakkan payung itu di meja, lalu kamu sibuk menutup kembali resleting tasmu dan bersiap memakainya. Aku tidak bisa melihat sinar matamu yang kamu sembunyikan pada tas itu. Orang bisa menutup resleting tasnya tanpa melihat, sedangkan kamu melakukannya seolah itu adalah pekerjaan berat yang butuh kejelian mata. Apa yang kamu sembunyikan?

Aku masih diam sampai kamu selesai dan wajahmu menghadapku. Aku menatapmu.
"Pake aja payungnya, nih, aku ada jaket kok,"
"Bener?"
"Iya. Sebener kalo aku tuh bukan yang terbaik buat kamu," Lalu kamu tertawa.
"Apa deh!" Aku pun ikut tertawa.
"Ya udah, aku pake dulu ya, Mas,"
"Iya, pake aja."

Kafe kopi mall ini semakin ramai. Beberapa orang masuk, sedangkan kita berjalan keluar. Di teras kafe, aku membuka payung dan bersiap pergi. Aku menengok padamu sebentar, sedangkan kamu sedari tadi menatapku lama. Aku tersenyum dan mengucap salam, lalu meninggalkanmu di teras kafe. Sebentar lagi kamu harus memulai pekerjaanmu, sementara aku berjalan di tengah hujan. Ada kelegaan dalam kalbu, ada juga rasa haru. Tapi aku tetap melangkah, dan kusadari bahwa aku tersenyum dalam syukur atas segala hikmah...


Kamu benar. Dulu kita tidak seharusnya berlebihan dalam menjalani apa yang kita rasakan. Kita tidak perlu memaksakan apa yang belum seharusnya kita jalankan. Kita terlalu terbawa gejolak asmara masa muda. Kita belum dewasa, namun berkelakuan layaknya pujangga jatuh cinta. Sekarang, kita lihat bagaimana akhirnya kita bertemu kembali di bawah takdir Sang Maha Segala. Maka biarkan senandung hujan menjadi saksi bahwa kita berteman saja. Alirannya yang tulus telah membasuh rasa cinta yang pernah ada, mengubahnya menjadi bijaksana. Rasa cinta yang kita rasakan bersama, namun dengan cara yang berbeda. Cinta sebagai teman biasa.

Kita telah dewasa, kita telah belajar mengambil hikmah dari cinta dan harapan kala remaja. Sekarang, kita juga telah mengerti arti cinta yang sebenarnya. Dalam diam, kita menghargai cinta, dan menjaga jati dirinya.

"Cinta adalah tentang kebaikan, mengajarkan kita hal-hal yang baik, menjadikan kita lebih baik, dan memberi yang terbaik. Jika hal tidak baik, kehancuran, dan keterpurukan yang kita bagi, maka itu bukanlah cinta. Mungkin waktu yang terlalu cepat, mungkin orangnya yang tidak tepat, mungkin caranya yang kurang 'sehat'. Dan karena cinta adalah tentang kebaikan, maka seharusnya ia ada di waktu yang baik, dengan cara yang baik, dan bersama yang terbaik."



*Terinspirasi dari kisah nyata. Nama tokoh disamarkan untuk kepentingan keamanan privasi. Semoga memberi hikmah ^ ^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar