Kamis, 26 Maret 2015

Sang Angin: Semilir di Pagi Yang Cerah

Pagi yang tenang, saat aku sudah tiba di perempatan jalan raya. Hari itu, aku dan beberapa siswa yang akan mewakili perlombaan mata pelajaran tingkat kabupaten. Aku diberi tahu begitu mendadak kemarin siang. Baru saja sampai di rumah, seorang kakak kelas yang kebetulan rumahnya bertetanggaan denganku, mampir ke rumah dan mencariku. Aku baru saja berganti pakaian dan menuju ke ruang makan. Aku mendengar seseorang memanggilku dari luar, maka aku membuka pintu depan.

“Ra, tadi aku dititpin pesen sama Pak Sumar, katanya kamu disuruh belajar Biologi. Besok disuruh ikut lomba, katanya kamu disuruh nunggu di Margasana besok pagi jam 6 pagi.”

“Hah? Kok mendadak gitu, Mas?”

“Iya, tadi begitu. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mas Toro. Tadi pas aku dipanggil, ada Mas Toro juga. Paling ntar Mas Toro kasih tau juga.”

“Oh, yaudah, makasih, Mas Atno,”

“Sama-sama,”
Aku terdiam, mencoba mencerna informasi yang mengejutkan itu.

Oh iya, di Sang Angin: Berhembus di Perpustakaan, aku ceritakan bahwa aku diminta belajar Biologi juga untuk ikut lomba mata pelajaran tingkat kabupaten. Nah, selama tiga hari itu aku habiskan jam sekolahku untuk belajar bersama dengan Mas Bimo di perpustakaan. Kami hanya membaca buku cetak Biologi masing-masing, merangkum, dan mencoba memahami, dan menghapal. Kebanyakan aku menikmati bukuku sendiri, tak banyak bertanya padanya, karena dia tampak begitu serius. Aku juga lebih nyaman dan fokus menyerap materi dengan membaca.

Seharian mengejar materi Biologi, malamnya di rumah, aku mengejar materi di kelas. Aku meminjam buku catatan teman, menyalin, membaca ulang, dan mencoba memahami sendiri. Aku terlalu asyik dan terlalu bersemangat, sepertinya, sehingga aku aku lembur, aku telat makan, dan pada malam ketiga, kebetulan aku pergi ke warung Uwak, dan tiba-tiba angin dingin hadir, lalu gerimis menyusul. Aku segera pulang. Uwak menawariku payung, tapi aku menolak karena saat itu hanya gerimis. Ternyata, tak lama setelah itu, hujan lebat datang. Aku berlari. Uwak memanggilku, tapi aku hanya berlari.

Pagi harinya, aku tidak bisa bangun. Kepalaku begitu berat, sementara badanku menggigil hebat. Badanku panas, mataku panas. Aku demam. Sejak hari itu hingga beberapa hari ke depan, aku tidak masuk sekolah. Aku sakit. Maka, tidak ada belajar bersama dengan Mas Bimo, tidak ada hembusan angin di perpustakaan. Angin sedang meliuk-liuk dalam tubuhku, sama kuatnya dengan rasaku ingin segera bertemu Mas Bimo di sekolah masuk sekolah. Tentu saja, kesempatan untuk kompetisi mewakili sekolah pada saat itu pun lepas... Terhempas... Untuk kompetisi saat itu, Mas Bimo yang akhirnya mewakili sekolah. Yah, kalau dipikir-pikir memag sudah sepantasnya begitu, aku saja yang terlalu bersemangat. Hehehehe...

Baiklah, untuk kompetisi kali ini, aku diundang lagi untuk mewakili sekolah pada bidang Biologi. Terbesit dalam pikiranku, mengapa aku? Bukankah Mas Bimo yang kemarin pasti sudah belajar lebih banyak, sudah berpengalaman, sudah jago pastinya! Mengapa aku yang dipilih sekarang? Entah bagaimana, napsu makan siangku menguap. Aku bergegas keluar, bermaksud menemui Mas Toro, yang tidak lain adalah sepupuku.

“Uwak, Mas Toro di mana?”

“Itu lagi makan, di halaman belakang,” kata uwakku yang memiliki warung kelontong itu.

Aku berlari ke halaman belakang rumah uwak, dan melihat Mas Toro sedang berjongkok di dekat  pintu belakang, ada piring di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk menyuap dan sesekali menyebar nasi ke arah kerumunan ayam dan anak-anaknya yang ikut sibuk makan bersama sang majikan.

“Mas, Mas Toro!”

“Eh, Ra. Kenapa? Oh iya, tadi Pak Sumar nyariin. Tadi aku sama Atno dipanggil buat bilangin kamu, suruh belajar Biologi buat besok lomba ke kabupaten. Besok pagi kamu disuruh nunggu di Margasana. Nanti Pak Sumar dateng anter kamu ke Purwokerto,”

Aku menatap dan mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Mas Toro yang penuh nasi itu. Aku tertegun.

“Aku sendirian, Mas?”

“Nggak, tadi kayaknya ada anak kelas 2 kok,”

Aku terlonjak dalam hati, berharap itu Mas Bimo! Siapa aku dan Mas Bimo kali ini yang akan menjadi wakil sekolah untuk kompetisi Biologi besok. Ah, tapi entah bagaimana, aku sendiri yang mengingkari harapan itu. Apalagi saat Mas Toro melanjutkan kalimatnya.

“Itu loh, yang ketua PMR,”

Baiklah, itu Mbak Siti. Mbak Siti adalah teman sekelas Mas Bimo. Jadi bukan Mas Bimo yang ikut. Ya sudahlah, sekarang aku tidak bisa mengelak, aku harus belajar untuk besok. Ah, untung saja aku sudah pernah belajar sampai sakit, hehehe...

“Oh, gitu. Ya udah, makasih ya, Mas.”
Lalu aku pergi, dan Mas Toro kembali sibuk dengan piring dan ayam-ayamnya.

Dan pagi ini pun tiba. Aku duduk sendiri di kursi bambu panjang tempat calon penumpang menunggu bus atau angkutan ke arah timur, arah kota kabupaten. Sedangkan sepanjang jalan raya ini masuk dalam jalur mudik selatan. Kalau sedang arus mudik, kendaraan hilir mudik begitu ramai. Tapi, pagi ini masih jauh dari idul fitri. Kendaraan yang lewat hanya angkutan umum yang sesak oleh anak-anak sekolah berseragam abu-abu putih dan motor-motor pedagang yang hendak pergi ke pasar, atau beberapa truk pembawa singkong.

Aku sudah menunggu sejak jam enam kurang, dan sekarang sudah jam tujuh lebih seperempat. Tukang-tukang ojek di pangkalan yang tidak jauh dari kursiku duduk sesekali memperhatikanku. Ada yang bertanya aku mau ke mana, lalu kujawab saja mau ikut lomba ke kabupaten. Dia tersenyum senang dan kagum, lalu berlanjut rumahku di mana. Aku pun menjawab dengan polos nama dusunku. Ada tukang ojeg yang kenal salah satu priyayi di dusunku, dan bertanya rumahku sebelah mananya rumah beliau. Kami pun jadi mengobrol ringan tentang sekolah di mana, bersama siapa ke kota kabupaten, lomba apa, berapa anak yang ikut lomba, dan sebagainya.

Tak lama kemudian, sebuah angkutan berwarna hijau, warna khas angkutan desa kami, berhenti tepat di depan kursi tunggu yang aku duduki. Aku melihat wajah Pak Sumar tersenyum lebar, lalu beliau turun sambil tertawa.

“Owalah, kamu sudah di sini rupanya. Kami tunggu-tunggu di sekolah, Bapak kira pesan Bapak kemarin tidak sampai,”

Pak, kalau pesan Bapak tidak sampai dan saya berangkat ke sekolah seperti biasa, apa lalu saya akan tetap dibawa untuk lomba padahal saya belum belajar dan tidak tahu apa-apa??

Aku menyalami tangan beliau dan tersenyum saja. Setelah Pak Sumar turun, Mbak Siti menyusul turun dan tersenyum ke arahku. Aku pun membalasnya.

“Ini, Ra, hari ini ada lomba MIPA. Yang dilombakan itu Matematika, Fisika, dan Biologi,” Pak Sumar masih terus berbicara, sementara dari sudut mata aku masih bisa melihat orang lain yang turun. Setelah Mbak Siti, ternyata ada Bu Yanti, Guru Biologi kelas 2. Setelah Bu Yanti, aku kehilangan fokus dengan apa yang diucapkan Pak Sumar. Mas Bimo turun dari angkot yang sama. Aku terpana.

“Waaah, alhamdulillah, Ratih udah di sini. Kami kira tidak masuk, mau ditinggal saja tadinya,”

Aku terkekeh, lalu menyalami tangan Bu Yanti, dan aku tidak bisa menahan diri untuk menyapa Mas Bimo dengan senyuman sedikit saja. Hanya sebentar. Aku malu menatap wajahnya...

“Iya, jadi nanti Siti yang maju buat Fisika, Bimo yang Matematika, Ratih Biologinya. Kan kemarin kata Bu Erni, Ratih sudah belajar Biologi bareng Bimo kan?”

Pak, memang Bu Erni tidak cerita kalau saya belajar sampai sakit ya, Pak? Kenapa saya yang Biologi Pak? Kenapa bukan Mas Bimo yang kemarin sudah maju? Kenapa saya yang masih kelas 1, Pak? Kenapa Pak? Kenapa tidak menunjuk kelas 2, Pak? Bu Erni menunjuk saya hanya karena melihat buku catatan Biologi saya, Pak. Bukan berarti saya jagoan Biologi, Pak. Saya belajar Biologi sampai sakit, Pak. Bu Erni tidak cerita, Pak? Pak??

Dan aku tersenyum dan menjawab dengan ramah, “Iya, Pak,”

“Ya sudah, ayo kita tunggu busnya,” Bu Yanti membayar ongkos angkutan, lalu mengajak kami berdiri lebih kearah timur dari kursi tunggu. Kami menanti angkutan berwarna oranye yang akan membawa kami ke kota kabupaten. Bu Yanti dan Pak Sumar masih tertawa-tawa dengan kisah pagi ini yang sempat membuat bingung guru mata pelajaran dengan keberangkatanku untuk ikut lomba ini.

“Untung kamu ke sini, Ra. Soalnya sekolah kan udah ndaftarin 3 siswa, jadi kalo tadi mau bawa 3 siswa, takutnya kamu beneran udah di sini. Kami tuh nunggu-nungguin kamu di sekolah, tapi karena udah jam 7, takut kesiangan sampai sana, jadi kami berangkat aja, mudah-mudahan kamu beneran udah di sini. Kalo kamu nggak di sini, sekolah ya cuma kirim wakil 2 orang buat 2 mata pelajaran. Untung bener kamu udah di sini, Ra,” Mbak Siti memulai obrolannya denganku dengan wajah ramahnya yang sejuk. Pantaslah dia menjabat ketua PMR.

“Hehehe, iya, Mbak. Kemarin sodara aku ngasih tau. Aku malah Cuma baca-baca tadi malem, nggak tau juga materinya apa aja,”

“Nggak papa, Ra, yang penting maju dulu, hehehe, kami juga cuma baca-baca ya, Bim?” Mbak Siti menoleh pada Mas Bimo.

Aku sekilas memandang Mas Bimo yang menyimak obrolan dan menyetujui pernyataan Mbak Siti.
“Orang dikasih taunya juga kemarin siang, Ra, pas mau pulang sekolah,”
“Iya, Ra,”

Aku mengangguk-angguk. Obrolan mungkin bisa berlanjut jika Bu Yanti dan Pak Sumar tidak memperingatkan kami bahwa bus yang kami tunggu datang. Bus berhenti, lalu kami naik satu per satu. Aku duduk bersama Mbak Siti, Pak Sumar dengan Mas Bimo, serta Bu Yanti duduk dengan seorang ibu berkerudung hijau di belakangku dan Mbak Siti.


Bus melaju. Mas Bimo dan Pak Sumar mulai membicarakan materi Matematika. Mbak Siti membuka tasnya, dan mengambil buku catatan Fisika. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan Bu Yanti dengan ibu berkerudung hijau di belakang, sepertinya tentang cuaca yang cerah pagi ini. Sementara, aku melirik sebentar ke arah Pak Sumar dan Mas Bimo yang kursinya berseberangan dengaku dan Mbak Siti. Kemudian aku memandang hamparan sawah di seblah kanan jalan raya ini. Dalam diam, aku setuju dengan obrolan Bu Yanti di belakang tentang cuaca cerah. Tapi aku merasakan sesuatu yang lebih. Karena semilir Sang Angin pagi, terasa begitu segar melalui jendela-jendela bus ini. Sinar mentari yang hangat menyinari alunan deru bus oranye yang kian cepat. Dan Mas Bimo ada dalam bus yang sama denganku. Ingin aku katakan pada Bu Yanti dan ibu berkerudung hijau di sebelahnya, atau bahkan pada seisi bus beserta pak sopir dan kondekturnya bahwa, ini bukan hanya pagi yang cerah. Ini adalah pagi yang indah :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar