Selasa, 10 Maret 2015

Sang Angin: Bertiup ke Perpustakaan

Sudah penghujung malam, tetapi aku belum bisa terlelap. Entah mengapa aku tiba-tiba tertarik untuk membuka lemari pakaianku, memeriksa rak paling bawah yang telah begitu lama terabaikan karena kesibukan. Aku bangkit dan berjalan menuju lemari. Aku sengaja duduk bersila di hadapan rak paling bawah itu karena aku tahu, aku mungkin akan menghabiskan waktu yang lama untuk melihat-lihat isinya. Di sana ada tumpukan buku yang sudah lama tidak kubaca.

Buku-buku itu bukan sembarang buku. Itu adalah buku-buku yang tidak aku tumpuk ke dalam kardus bersama buku-buku pelajaran sekolah di gudang. Bukan juga buku bacaan yang aku bariskan bersama deretan buku di buffet ruang keluarga. Bukan juga buku favoritku yang aku tata rapi di rak buku kamar bersama novel, bacaan astronomi, buku bacaan religi, dan lainnya. Ini adalah tumpukan buku sejarah. Sejarah hidupku, yang menjadi saksi perjalanan kisahku.

Aku mengambil setumpuk buku itu, mengangkatnya dan bangkit membawanya ke meja. Aku menarik kursi, lalu duduk dan bersiap membaca kembali perjalanan hidupku. Aku menguraikan tumpukan itu, melihat berbagai warna dan macam-macam gambar sampul buku harianku yang berupa buku tulis anak sekolah. Aku tersenyum, karena begitu juga perjalanan hidupku: penuh warna dan bermacam lika-liku. Aku masih ingat, setiap kali habis, aku segera menyiapkan buku pengganti. Kadang bertepatan dengan tahun baru, kadang juga tidak. Kadang aku begitu rajin menulis apa yang aku alami setiap hari hingga buku itu cepat penuh dan habis. Kadang juga aku hanya menulis sekedarnya, sehingga ada buku yang lama habisnya, bahkan pada setiap tanggal, aku hanya menulis beberapa kalimat dan tulisan berikutnya aku lakukan pada tanggal yang berselisih cukup banyak. Hehehe...

Aku tersenyum saat membuka-buka dengan sekilas buku-buku itu, hingga sesuatu membuatku terpaku. Sebuah foto tiba-tiba terjatuh dan mendarat di lantai kamar dengan senyum yang manis. Aku mengambil foto itu, lalu menatapnya. Di foto itu ada aku, ada juga beberapa anak lainnya yang bergaya. Kami berfoto di tangga sebuah bangunan tempat kami dikarantina untuk belajar habis-habisan, mempersiapkan diri dalam sebuah ajang olimpiade sekolah menengah atas. Di dalam itu juga ada dia. Seseorang yang namanya telah begitu banyak kusebut dalam torehan penaku di buku harian. Memandang foto itu, membuatku ingin membuka catatan-catatan tentangnya dalam buku-buku ini. Membacanya kembali berarti mengalirkan kenangan-kenangan yang berkelebat dengan jelas dalam ingatan. Semua torehan penaku, seperti bercerita kembali mengenai kisah itu.
Kisah hikmah dari harapan dan cinta pada Sang Angin...

2004

Aku masih ingat pagi itu. Pagi yang cerah, saat anak-anak kampung berangkat ke sekolah di dekat area sawah. Aku dan teman-temanku berjalan bersama menuju gerbang sebuah sekolah menengah pertama. Mulutku terus bercerita dengan semangat tentang film seru yang kutonton semalam, hingga lembur. Tiga orang temanku begitu antusias mendengarkan, sesekali mereka bertanya dalam kekaguman. Dua puluh meter lagi menuju gerbang sekolah. Aku secara refleks mengarahkan pandangan mata ke jalan kecil dekat pematang sawah di seberang jalan desa depan sekolah. Aku menatap jalan itu, mataku menanti. Hatiku berharap. Tapi, mulutku tak berhenti bercerita, berbusa-busa. Dan benar saja, seorang cowok muncul dari sana, membuat mataku berbinar-binar, lalu ada rasa membuncah di hatiku. Seperti ombak pantai selatan.... Padahal saat itu aku belum pernah ke pantai selatan! Aku terus bercerita, sampai benar-benar berbelok masuk ke gerbang, dan aku lihat terakhir kali pagi itu, cowok dengan tas oranye yang muncul dari jalan kecil dekat pematang sawah itu juga berjalan hendak memasuki gerbang sekolah yang sama...

Aku tidak ingat kapan pertama kali tepatnya aku mulai tertarik dengan kakak kelasku itu. Si cowok dengan tas oranye, yang kulitnya putih bersih, alisnya tebal, matanya sipit seperti keturunan Cina padahal bukan, dan rambutnya yang ikal. Apa sejak aku dan dia bersama-sama masuk dalam jajaran pengurus OSIS? atau sejak latihan pertama regu Pramuka inti sekolah? Atau keduanya? Aku sungguh lupa, tapi aku yakin bahwa kedua organisasi itulah yang membuatku kenal dengan dia. Aku paham benar, untuk cowok itu, aku bukanlah seorang gadis yang patut diperhitungkan. Siapa aku?? Gadis berkulit lebih gelap, kusam, perawakanku kurus walaupun agak sedikit tinggi, rambut panjangku kemerahan dan kering. Aku juga bukan anak seorang priyayi yang terpandang di sekolah ini, bahkan di desa ini. Bukan siapa-siapa. 

Aha, tapi ini bukanlah cerita seorang gadis cupu yang merindu seorang pangeran primadona. Bukan. Tidak berlebihan seperti itu. Dengan semua tampilan fisik yang apa adanya, aku termasuk salah seorang siswi yang diperhitungkan di sekolah terpencil ini. Jangan salah. Nilaiku selalu di atas rata-rata. Guru-guru suka memuji aku. Teman-teman juga tidak meremehkan aku. Mereka baik-baik. Iya, aku diperhitungkan. Dan ternyata, aku diperhitungkan... Bersama dia...

"Ratih, kamu diminta menemui Bu Erni. Dan jangan lupa untuk mampir ke kelas 2A"
Demikian sabda Bu Laini, guru Fisika yang baru masuk ke kelasku siang itu. Beliau menyampaikan pesan agar aku menemui guru Biologi, saat itu juga, dan aku sekalian diminta mampir ke... Mana? Ya Tuhan, apa aku tidak salah dengar?? Ke kelasnya! Memanggilnya! Adakah yang salah dengan pendengaranku??

Tidak.

"Kalian berdua di tunggu Bu Erni di perpustakaan,"
Selesai. Aku diminta memanggil dia di kelasnya, dan membawanya menemui Bu Erni. Sempurna. Aku gugup.

Yanti, teman sebangkuku yang tahu perasaanku, menatapku antara terkejut, senang, dan ikut gugup. Kalau tidak ada guru, tidak sedang jam pelajaran, dan tidak di kelas, mungkin Yanti yang heboh itu sudah melonjak memberi selamat dan mendorongku untuk segera pergi ke kelas cowok itu, memanggilnya, dan menculik membawanya ke perpustakaan. Iya, dari mimik wajah Yanti, aku tahu, dia ingin melakukan itu, tapi dia sedang berusaha menahan diri. Di sini, aku juga sibuk menahan diri dari rasa lemas.... Zzzzzz....

Aku menyusuri lorong-lorong kelas. Sepi. Ini jam pelajaran, jelas tidak ada siswa berkeliaran. Aku menghitung setiap langkah menuju kelasnya, yang katanya adalah kelas favorit untuk Kelas 2. Aku berjalan lebih cepat, berusaha membuang gugup dengan pertanyaan ini: Ada apa aku dipanggil guru Biologi?? Ada masalah?? Apa hubungannya dengan dia?????

Tok tok tok...

Aku mengetuk pintu ruang kelasnya, Sedang pelajaran seni. Setiap anak memegang alat musik. Dia juga memegang alat musik: gitar. Milik siapa?? entah! Pastinya, cowok yang sedang bermain gitar selalu mempunyai kesan tersendiri, seolah dia sedang menyanyikan lagu cinta untukku. Ah, untung saja aku ingat bahwa aku sedang di pintu sebuah kelas, yang lalu semua mata siswa di kelas itu tertuju padaku. Ditambah juga mata guru yang sedang mengajar di sana. Berasa Putri Indonesia? Tidak. Aku berasa mau pingsan saja...

"Ibu, maaf, saya diminta Bu Laini untuk memanggil Mas Bimo menemui Bu Erni,"
Ibu Sriati tersenyum dan memanggil Mas Bimo. Beliau baru teringat bahwa beliau juga sebenarnya diminta menyampaikan pesan pada Bimo untuk menemui Ibu Erni pukul 11 siang itu.

Maka Mas Bimo memberikan gitarnya pada salah seorang teman, dan berpamitan pada Bu Sriati, lalu berjalan dengan gerakan yang mantap, ada sinar-sinar terpancar dari badannya, dari senyumnya, dari tatapan matanya... Dan, dia berjalan menuju aku!
Bukan.
Dia menuju pintu, hanya saja di sana ada aku yang berdiri mematung. Gugup.

Aku sadar, lalu berpamitan dan berterima kasih pada Bu Sriati, kemudia buru-buru berjalan. Dia pun mengiringi langkahku... Ya Tuhan!

"Kenapa ya, kok dipanggil Bu Erni?"
"Nggak tau, Mas, hehehe,"

Perpustakaan juga sepi, hanya ada Bu Wati, penjaga perpustakaan yang sering terlihat galak, tapi sebenarnya beliau sangat baik hati. Aku dan Mas Bimo masuk. Bu Wati menatap kedatangan kami, dan aku kikuk akan ditanya macam-macam padahal aku juga tidak tahu untuk apa diminta ke perpustakaan di jam pelajaran ini, apalagi berduaan! Apa yang ada di dalam pikiran beliau nati? Ternyata tidak, beliau tahu bahwa kami dipanggil Bu Erni.

"Baca-baca saja dulu, saya panggil Bu Erni, ya," kemudian Bu Wati keluar, menuju ruang guru.

Kikuk yang tadi sudah hilang, tapi ada rasa kikuk yang baru. Nah, sekarang aku dan Mas Bimo hanya berdua saja di perpustakaan ini. Aku terdiam, menerka-nerka apa yang akan terjadi. Aku juga memikirkan materi yang sekarang sedang diajarkan Bu Laini di kelas. Aku bertanya-tanya bagaimana dengan tugasku? Seharusnya Yanti membuka tasku, mengambil buku tugas Fisikaku, dan mengumpulkannya pada Bu Laini. Dia tahu aku sudah mengerjakan. Dia menyontek pekerjaanku tadi pagi!

Baiklah... Berdua saja dengan Mas Bimo di perpustakaan. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan? Atau... Apa yang akan dia lakukan? Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan terjadi? Aku tidak tahu. Oh, aku belum tahu... Aku hanya bisa berharap-harap cemas...
Aku mencuri-curi pandang padanya, sementara dia berjalan ke rak koran, mengambil koran, lalu kembali dan duduk.
"Kira-kira kenapa ya? Kamu nggak tahu, Ra?"
"Nggak, Mas."
"Yaudah, kita tunggu aja deh, sambil baca-baca,"
Dia mulai membolak-balik koran di tangan, dan membacanya. Aku juga beranjak ke rak buku, mencari buku bagus yang bisa aku baca sambil menunggu. Aku sesekali mencuri pandang lagi padanya. Dia mungkin merasakan pandangan mataku, lalu melirik. Tapi, aku tidak pintar menghindar. 

Kemudian aku merasakan sesuatu yang tidak biasa akan terjadi...


Waktu pun pelan-pelan bergulir dengan pasti... Benar saja, yang tidak biasa memang terjadi. Tidak terlupakan, begitu berkesan di hati. Sementara aku masih sesekali memandangnya, aku rasakan angin dari persawahan dekat sekolah bertiup sepoi-sepoi menggoda dedaunan dan masuk ke perpustakaan...
^ ^

credit gambar: Film 'Ada Apa Dengan Cinta'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar