Selasa, 20 Oktober 2015

Portal



Ciiiiiiiiiiiiit!!!!
Praaaakkk!!!
Bruuuuuggg!!!!!

Entah dari mana, suara decit rem truk dan dentuman motor yang melayang jatuh bersama si pengendara berkelebat di depan matanya tanpa sempat ia menghindar. Motor dan si pengendara terlempar keras, bahkan berada beberapa meter di hadapannya. Dara merasa seluruh sendi di tubuhnya lolos, hingga ia hanya terpaku dalam napas yang serasa hilang. Dara tidak sadar apapun, matanya hanya tertuju pada si pengendara yang terbaring. Tangannya berusaha meraih pegangan pada motornya yang sudah roboh, rusak. Lalu kepalanya yang tak lagi berhelm itu berusaha mendongak, menampakkan wajahnya yang penuh darah. Dara melihat mata sayu itu, yang lalu terpejam bersama tubuh si pengendara yang kembali lunglai di atas aspal. Dara baru menyadari apa yang terjadi, setelah orang-orang berlarian menggapai si pengendara, beberapa ribut memanggil ambulance. Dua orang polisi lalu lintas segera datang, dan seorang wanita separuh baya tiba-tiba sudah menggenggam lengan kanannya.
“Mbak? Nggak papa?”
Dara menoleh bingung.
Wanita itu menuntun Dara untuk berdiri, dan menariknya agak menjauh dari keramaian. Wnita itu mengajak Dara duduk menepi di trotoar, lalu menawarinya sebotol air mineral. Dara masih gemetar saat mendekatkan ujung sedotan ke bibirnya. Orang-orang masih ribut, hingga si pengendara yang entah masih hidup atau tidak itu diangkat dan dibawa pergi ambulance.
***

Di sebuah ruang ICU rumah sakit, si pengendara tergolek dengan alat-alat medis yang membantunya bertahan hidup. Tampak kedua orang tuanya di tepi ranjang. Tatapan mereka penuh dengan kesedihan, rindu, kebingungan, dan yang mengambil porsi terbesar adalah ketakutan.
***

Sore hari yang lain setelah kejadian kecelakaan itu...
Dara termenung di tepi danau yang terletak di kampusnya. Peristiwa kecelakaan kemarin sore entah mengapa sangat mengganggu pikiran dan hati, hingga tak tahan untuk ia tulis pada buku hariannya. Bayangan tentang tatapan si pengendara itu masih lekat dalam ingatannya. Apa yang ada di dalam benak si pengendara? Mengapa dia menatap langsung lurus padanya? Apakah dia meminta tolong pada Dara --yang sangat disesali Dara bahwa Dara haya terpaku dalam kekagetan tanpa berbuat apa-apa-- ? Jika iya, si pengendara bisa langsung mengarahkan tangan dan tatapannya pada kerumunan orang di halte. Posisi ia terjatuh miring sangat tepat menghadap halte, tetapi mengapa sia justru berusaha memutar badan agar menatap ke arah Dara? Apa yang diinginkan si pengendara? Dara bahkan bertanya-tanya apakah dia masih hidup? Iya, tentu saja Dara berharap si pengendara tetap hidup!
Lagipula, sepele sekali! Apa yang dia inginkan sehingga harus menyeberang dan memotong jalan seenaknya, sementara lalu lintas sedang tidak terlalu ramai, sehingga banyak kendaraan melaju kencang? Apa dia tidak sempat melihat truk Fuso yang melaju tanpa ragu? Apa dia juga tidak mengikatkan tali helm-nya dengan baik dan benar??
“Dhuarrr!!!”
Suara itu mengagetkan Dara. Hingga kagetnya, Dara yang sedang duduk terdorong ke depan. Dalam gerak lambat, Dara seperti melayang, sementara tanpa ia sadari buku hariannya terbang...
Dara terjatuh ke atas tanah beruput itu. Ia kesal. Marah. Dara menengok pada sumber suara dengan sengit. Lalu bangkit dengan dendam dan mata menyala-nyala...
Fian sepertinya segera tahu bahwa candaannya tidak tepat waktu. Melihat Dara yang berapi-api berjalan ke arahnya, memnuat Fian semakin ciut dalam takut. Tetapi kakinya tidak bergerak untuk lari. Dia terus menatap Dara yang kian mendekat, sementara tangannya sendiri mulai gemetar. Dan tiba-tiba, wajah Dara yang merah membara sudah ada di depan matanya. Mata Dara yang penuh amarah itu menatap langsung ke dalam mata Fian yang sipit dan berkaca-kaca karena takut.
“Hahahahahhaha!!!”
Gelak tawa keduanya meledak.
“Coba tadi gue shoot ekspresi serem lu, Ra! Pantes lu jadi bintang film horor, jadi hantunya yang baru bangkit dari kubur karena dendam!!”
“Lu juga tuh, mirip banget Bang Bokir liat Suzanna, Hahahaha” Dara menimpali.
“Eh tapi lu berani lepas baju nggak buat jadi artis horor? Kalo nggak, susah terkenalnya,” ucap Fian ngaco.
“Idih, emang gue kurang serem apa??!”
“Nggak sih, tapi syarat hantu jaman sekarang nggak cuma serem, tapi juga seksi. Biar judul filmnya menjual gituuu,”
Dara terkekeh saja, lalu katanya, “Lama banget lu ditungguin...”
“Sore, kuliah minor gue kalo hari Selasa emang sampe sore gini... Oh iya, Ra, gue ada kabar kurang baik,”
“Apa?” Dara menatap serius.
“Hana, dia nggak masuk hari ini karena sodara sepupunya kecelakaan. Dia baru kasih kabar karena nggak sempet pegang HP dari kemaren. Lu tau kan? Yang kecelakaan di deket mall Indah kemaren sore, itu ternyata kakak sepupunya Hana!!”
“Apa?!” Dara ternganga tidak percaya. Dia tiba-tiba merasa agak pusing.
“Lu nggak papa, Ra?”
“Nggak, nggak papa, Fi...”
“Yaudah, kita nemuin Hana di rumah sakit aja, dia dari kemaren di sana nemenin kakak sepupunya,”
Dara mengangguk, lalu segera mengikuti langkah Fian yang berjalan cepat di depannya, meninggalkan tepi danau...
Meninggalkan buku diary-nya yang masih tergeletak di atas rumput....
***

Seseorang mengambil buku harian Dara saat kondisi kampus telah pergi. Dia tidak sengaja melihat buku itu ketika berjalan santai melewati jalan setapak di tepi danau kampus ini. Awalnya dia tidak ingin peduli, paling nanti malam atau besok si pemilik akan mengambilnya lagi kalau memang penting. Tetapi, petang itu langit tampak mendung. Hujan siap datang. Kasihan sekali kalau buku itu basah kehujanan...
***

Benar saja, malam itu hujan turun dengan deras. Dara berlari dari gerbang kosannya setelah keluar dari taksi yang ia naiki bersama Fian sepulang dari rumah sakit. Sesampainya di depan pintu kamar, segera ia keluarkan kunci dan membuka pintu kamarnya.
***

Bagas masuk ke kamar Iaz saat Iaz sedang asyik online di laptopnya. Bagas buru-buru masuk, lalu melepas jaket jins-nya yang basah di beberapa bagian.
“Lu, masuk aja bikin kaget gue!” Ucap Iaz kaget.
“Lu, pintu rusak, udah dikunci masih aja bisa dibuka,” jawab Bagas dengan santai.
“Dari mana lu?” tanya Iaz, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop ke Bagas yang sedang mengibas-kibaskan jaket. Bagas belum sempat menjawab, Iaz sudah menimpali.
“Abis jalan ya sama Gitaaa?” Iaz menggoda.
“Tau dari mana lu?”
“Ah, lu gimana sih jadi cowoknya Gita kok kayak nggak tau aja. Dari balik kuliah aja dia udah rempong banget update status mau jalan sama ayang,”
Bagas tersenyum, lalu katanya, “terus sekarang statusnya apa?”
Iaz terdiam ragu.
“Status terkahirnya Gita,” Iaz menoleh lagi ke layar laptop, lalu membaca yang menjadi pusat perhatiannya: “Gita Boekan Goetawa: Kamu emang nggak peka L
Iaz menoleh lagi pada Bagas.
“Lu berantem sama Gita?”
Bagas berhenti mengibaskan jaketnya, menatap Iaz heran.
“Nggak, tadi kita dinner, terus pas balik ujan gitu, tapi biasa aja, tetep balik kok,”
“Maksud lu, uajn-ujan gitu lu tetep balik?”
“iya,”
“Nggak nunggu redaan?!”
“lah kan gue ada janji mau ngerjain tugas sama lu,”
“Ujan-ujan gitu, si Gita pake jaket nggak?”
“nggak,”
“Terus lu nggak tawarin dia pake jaket lu??!!”
“Gue tawarin, kok Iaz,”
Bagas teringat lagi saat-saat di lobby rumah makan ayam bakar yang paling terkenal di kawasan itu, saat hujan mulai turun dan ia menawari Gita untuk memakai jaketnya.
“Yang, ini paket jaket aku, dingin loh ujan-ujan gini, kita kan mau motoran,”
“Nggak usah, Yang, nggak papa,”

Iaz penasaran, “terus lu jawab apa Gita bilang gitu??”
“Yaudah,”
“-yaudah- yaudah gimana maksud lu Gas??”
“Ya... yaudah, dia nggak mau make, yaudah, gue yang pake,”
“Nggak lu pakein langsung aja ke Gita gitu? Ke bahunya???”
“Nggak, ntar gue dibilang cowok yang memaksakan kehendak... Gue salah Iaz begitu??” Bagas mulai khawatir dengan tindakannya tadi...
Iaz terdiam, berpikir, lalu menghela napas dan mengelus dada...
“Apa Iaz? Gue salah yah??!!” Bagas makin ketakutan.
“Nggak,”
“Terus kenapa lu ngelus dada gitu??”
“Gue lega aja, berarti status Gita bukan buat lu, Broh,” Iaz tersenyum lebar, Bagas pun demikian.
“Gue mah udah tau kalo Gita pasti seneng abis jalan sama gue,” ucap Bagas bangga sambil menggantungkan jaketnya dengan sebuah hanger ke paku di belakang pintu kamar Iaz.

“Eh, Iaz, lu lagi onlen?”
“Iya, kenapa?”
Bagas berjalan menuju tasnya yang di letakkan di lantai dekat tempat tidur Iaz, lalu membukanya untuk mengambil sesuatu.
“Cariin ini dong?”
***

Dara masih kelabakan mencari buku diary-nya. Dia membuka semua laci lemari, menurunkan semua barang-barang di mejanya, bahkan mengangkat kasurnya untuk mencari buku pink itu. Tidak ada. Dara mulai panik. Di mana buku diary-nya?? Dara berdiri di tengah kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah dan menoleh ke sana-sini... Tidak ada...
Lalu tiba-tiba ingatan itu muncul.
Saat Fian mengagetkannya di tepi danau tadi sore. Saat entah kapan, buku diary itu lepas dari tangannya. Yang ia ingat saat itu adalah langsung berlatih acting menjadi bintang film. Ya Tuhan, obsesi itu sekarang berdampak makin serius: membuat buku diary-nya hilang!!
Pintu kamar Dara terbuka dengan cepat, lalu Dara keluar dari kamarnya dengan setengah berlari. Buru-buru ia mengunci pintu dan menembus hujan yang masih mengguyur malam itu.
“Ke mana, Ra?” tanya seorang teman kosnya yang sedang bersantai di depan TV.
“Ke kampus, Lan,”
Dara terpaksa berhenti sejenak untuk menanggapi Wulan.
“Ngapain? Mau ditemenin?”
Dara berpikir sejenak. Dia takut kalau kelakuannya malam-malam begini ke kampus demi mencari buku diary yang hilang karena obsesi bintang film-nya itu akan membuat Wulan terpingkal-pingkal, maka dia putuskan untuk pergi sendiri saja.
“Ng.. Nggak usah, Lan. Gue buru-buru,” Dara segera berlari ke arah gerbang, lalu keluar.
“Ra??! Lu nggak bawa payung, Ra?!! Ra??!!” Wulan berusaha memanggil Dara yang sudah tidak terlihat...

*bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar