Kamis, 15 Oktober 2015

Cerpen: Merah



Aku seharusnya belum pulang kerja. Ini masih jam kantor, bahkan seharusnya ada lemburan. Tapi aku segera memacu langkah meninggalkan tumpukan berkas yang harus diaudit. Beberapa rekan kerjaku berteriak. Beberapa orang yang kulalui pun sempat mengucapkan kalimat-kalimat, beberapa juga menepuk bahuku. Tapi, entahlah kata-kata apa yang mereka ucapkan.
Aku terus berlari, menembus udara yang terasa kian memanas, memanggang rongga hidung hingga paru-paru. Meski begitu, ada sejuk kelegaan dan syukur terhembus di sela napas yang memburu. Manajer di tempatku bekerja begitu pengertian. Tanpa banyak babibu, aku segera dilepaskan, diizinkan pulang lebih awal. Aku seperti anak panah, melesat cepat dengan satu tujuan pasti, tanpa ragu. Tapi gerakannya adalah banteng terluka murka, mengejar si pria bertopi hitam yang meledek dengan selembar kain merah berkibar. Ah! Warna merah itu pun berkelebat!
Aku mencapai lobi kantor, dan di luar sana air langit terguyur begitu rapat. Aku bisa melihat alirannya membiaskan jejeran mobil yang terparkir di halaman. Suara gelegar sang guruh saling bersahutan, bersaingan. Mereka adalah pria-pria yang berpesta pora bahagia memamerkan sekaligus mengadu keindahan liuk putih tarian garis wanita mereka di layar angkasa. Percikan putih itu menebar ancaman, karena semakin indah garis liuk si wanita, maka semakin garang gelegar si pria. Air-air itu bertepuk tangan. Ramai, bising. Bahkan mereka juga bersorak-sorai. Rongga telingaku terisi penuh oleh riuh teriakan anak-anak awan mendung itu.
Aih! Apa peduliku pada masyarakat hujan beserta keramaiannya?! Aku menerobos udara berair, menabrak tiap butir kristal langit. Mereka protes, memberontak, mengundang kawanannya untuk mengeroyokku, lalu menyerangku bertubi dari berbagai arah. Tidak, tidak sampai di situ. Serangan mereka berlanjut, menebar ngilu di sekujur kulit tubuhku. Seperti mafia, mereka menyusup ke susunan kain-kain di badanku, meniupkan rasa yang membuat gigiku beradu dan bibir membiru. Dan kini, mereka meminta bantuan angin untuk membisikkan lagu kesepian pilu, kerinduan yang mendalam pada secangkir teh manis hangat bercampur madu.
Aku melompat ke dalam sebuah angkutan umum tua, warnanya merah tua dan supirnya juga tua. Saat beberapa waktu berselang, aku tahu bahwa banyak tuan-tuan beroda empat itu juga sedang berbaris menunggu giliran jalan. Aku segera berpikir, sepertinya aku pun akan tua di perjalanan ini. Semakin terasa tua dan menua, saat si merah bersinar. Dia berada di paling atas nan tinggi. Dia raja, dia tidak mau tahu, suka atau tidak suka, saat dia membara, semua tuan beroda harus diam takluk dan patuh di hadapannya. Jika satu dua tuan beroda melalaikan titahnya, bisa-bisa warna merah lain tercecer menodai legamnya aspal jalanan. Sungguh, si raja merah menyala memang tidak sedang bergurau dengan titahnya. Tidak, dia memang tidak suka bergurau.
Si hijau pun baru membuka mata jika sang raja beristirahat sejenak. Sejenak, karena dia begitu bijaksana. Dia memberi hadiah kebebasan bagi tuan beroda yang telah bersabar untuk melanjutkan langkah, dengan memerintah si hijau membuka mata. Begitu bijaknya, sebelum menyala lagi pun dia selalu memerintah mahapatih kuning agar memberi peringatan. Sang raja akan membara, maka tunduklah! Tunduk, atau dengan berani lancang memburu waktu, keduanya tak akan membahayakan raja sedikitpun. Dia akan tetap di atas, tinggi, mengatur tuan-tuan beroda. Tinggal pilih, hiraukan sang raja merah menyala, atau ambil ancaman ceceran merah lara. Apapun itu, sungguh, dia tidak sedang bergurau.
Apa pula peduliku pada dinasti merah-kuning-hijau dan sistem pemerintahannya?! Tidak, aku sama sekali tak takut melihat ceceran merah di aspal, tidak! Aku takut jika ceceran merah itu aku yang menumpahkan, apalagi bukan milikku! Tapi saat ini, jika memang aku harus menelikung, memberontak, dan mengejar waktu, maka ceceran merah siapapun bisa saja aku tebarkan. Aku tak peduli! Tapi, seringai merah menyala itu justeru memenuhi benakku dengan merah lain yang bukan milikku. Dia tercecer, menetes, mungkin mengalir. Tidak menyala, tapi merah itu lebih mengerikan dari merah mana pun yang memenuhi benakku saat ini.
Baiklah, dan aku baru teringat, aku memiliki sebuah tuan beroda dua! Dan aku ingat lagi, dia memiliki paduan warna putih dan merah yang perkasa. Mungkin merahnya sekarang menjalar memakan putih. Dia kesal, dia marah. Aku meninggalkannya begitu saja di parkiran tadi. Aku berlari begitu saja dan melupakannya! dia mungkin memanggil, tapi riuh hujan menelan gerutunya karena ditinggal panik si pemilik. Oh, Tuhan! Jika aku membawanya, tentu aku tak perlu naik angkot merah tua ini! Tak perlu aku bertatapan lama-lama dengan merah menyala di atas sana yang membuatku terasa semakin tua. Aku bisa meliuk ke barisan depan, bersiap meluncur begitu sang merah menghitam!
Aku menghirup napas, merapatkan jemari mengusir hawa salju. Angkot merah tua yang tua ini akhirnya melangkah. Tapi dia terbatuk, sesak napas, lambat. Aku pikir dia terserang flu atau demam atau apapun itu. Salah. Berjejer kendaraan lainnya juga melangkah ragu. Mereka berdehem kesal menunggu giliran, tapi tak kunjung diberi kesempatan. Si sopir tua mengusap wajahnya dengan kain handuk yang ia selempangkan di bahu. Handuk merah dengan logo klub sepak bola ternama negeri Ratu Elizabeth. Klub favoritku juga. Aku pun mengusap wajah, menyeka sisa-sisa air hujan dengan tanganku.
“Banjir! Macet!” teriak seorang anak laki-laki berkaos merah yang berlarian sambil menggenggam kayu kecil, tempat dia memaku beberapa keping tutup botol seng yang sudah dipipihkan.
Aku melongok ke luar pintu angkot merahku, dan benar saja, ada genangan air yang merendam bagian bawah ban. Ya, dan aku baru ingat lagi, jalanan ini memang langganan genangan air tiap kali musim hujan memeluk negeri. Tapi dengan angkot merah tua ini, sepertinya genangan air setinggi itu tidak akan terlalu jadi masalah. Tapi, tentu akan jadi masalah jika si merahku yang melaluinya. Dia akan tersedak, lalu terkulai pingsan. Dan aku harus menuntunnya. Oh Tuhan, maafkan aku. Aku kembali bernapas lega penuh syukur. Setidaknya angkot merah tua ini tidak akan tersedak secepat si merahku. Biar nanti kujelaskan padanya, alangkah beruntungnya dia terparkir di parkiran belakang kantor, yang bahkan memberinya perlindungan dari limpahan air hujan. Dia aman dari genangan air kotor yang mengalir lambat, tersumbat dan penat!
Ponselku berbunyi lagi. Aku bisa saja mengangkatnya. Tapi tanda merah pada logo baterainya mengurungkan niatku. Lagipula, dalam riuh hujan begini, suara orang di seberang sana hanya akan menjadi desis putus-putus ditelan sinyal yang terombang-ambing cuaca. Aku menolaknya, lalu segera mengetik pesan bahwa aku sudah dalam perjalanan. Tanda merah di baterainya kian menajam. Sebentar lagi warna itu akan menelan kesadaran ponselku. Aku menghirup napas dalam, mencoba menenangkan kibaran merah di mataku. Ingat, aku seperti banteng terluka! Seperti sang merah menyala, aku tidak sedang bergurau. Aku sedang membayangkan ceceran merah lainnya. Ceceran merah yang bukan milikku, yang merampas keberanianku.
“Wah, kayaknya bakal lama ini, macetnya... sabar ya, Pak, Bu,” kata si sopir angkot merah tua yang tua itu dengan ramah dan bijak pada penumpangnya.
Beberapa penumpang langsung bermuram durja, beberapa mengeluh pelan dan beberapa lainnya biasa saja, toh memang sudah biasa. Dan aku paham, sekesal apapun mereka, mereka akan tetap bertahan di dalam. Mereka akan menyelamatkan diri mereka dari serbuan kebasahan dan kepayahan jika berada di luar angkot merah tua ini. Di luar sana, keluarga hujan masih berpesta! Aku, satu-satunya penumpang yang kuyup, terperanjat. Tidak bisa! Aku harus bergerak, dengan atau tanpa angkot merah tua ini! Bersama atau tanpa sopir tua nan ramah itu!
Aku turun, dan aku sadar benar saat beberapa mata menatapku heran, terkejut. Aku menyodorkan selembar uang warna ungu. Dia tidak basah, karena terlindung aman dalam dompetku. Tapi aku mulai berpikir, apa mungkin tadinya dia juga merah, lalu kedinginan dan menjadi demikian ungu? Apa jangan-jangan semua lembaran merah yang ada dalam dompetku berubah menjadi ungu semua? Ya Tuhan, apa peduliku pada merah-ungu lembaran kertas alat tukar resmi negeri ini? Toh yang penting angka yang tertera di sana, bukan?
Si sopir terkejut, lalu menyuruhku masuk karena serangan derasnya tentara air langit, dan dia juga belum menerima uangku. Hei, bukankah aku sedang tidak bergurau? Lalu aku teriakkan alasan mengapa aku tidak bisa bersabar menunggu, dan tetap menyodorkan lembaran unguku. Sekarang, si sopir tua itu yang terperanjat, dan penumpang lainnya semakin memperhatikanku.
“Oh, nggak usah, Mas! silakan, nggak papa! Nggak usah bayar!”
Apa maksudnya? Apa karena kewajibannya untuk mengantarku sampai tempat tujuan belum terpenuhi sehingga sopir tua ini enggan menerima bayaran di tanganku? Hei, aku anak panah! Aku sedang melesat dan aku tahu tujuanku. Aku tidak bisa menunggu! Bagaimana pun, aku wajib membayar biaya mengangkutku sedemikian jauh. Aku meletakkan lembaran ungu itu di atas dasbor, lalu merapatkan telapak tanganku di depan wajah sambil mengangguk dan tersenyum. Aku berbalik, menerjang kembali sorak-sorai butiran... oh, gumpalan air itu... mereka menyambutku rupanya, menepuk-nepuk tubuhku dengan begitu gembira.
Aku tidak tahu, si sopir itu mengartikan apa atas gerakanku tadi. Ucapan terima kasih, permohonan agar pembayaranku diterima saja sekaligus kembaliannya, atau mengemis doa keselamatan darinya. Apapun yang ada di benaknya, maksudku adalah ketiga-tiganya sekaligus! Aku tidak peduli uang kembalian, aku tidak peduli air hujan, aku tidak peduli pandangan penumpang. Aku hanya tidak ingin dan memang tidak boleh menunggu. Seperti nyala merah lampu lalu lintas, aku tidak sedang bergurau. Aku banteng terluka, aku melihat kibaran merah, dan aku bermaksud menubruknya. Di antara napas yang memburu, aku mengambil langkah seribu. Kaki berpacu bersama degub jantung yang kian beradu.
Aku sampai.
Tidak ada lagi riuh air hujan di rongga telinga. Aku hanya mendengar satu suara yang terngiang memanggilku. Tidak ada lagi gelegar guntur di luar sana. Dentumannya kini bergolak liar di sini, di dalam dadaku. Tidak ada lagi kibaran merah maupun nyala membara di bola mataku. Aku hanya melihat dengan begitu nyata ceceran merah yang bukan milikku. Aku berusaha berdiri tegar, namun sekujur tubuh gemetar. Entah karena ngilu biru sisa hawa air hujan, atau karena merah yang berceceran dalam pikiran. Mulutku terkatup diam, tapi napasku berteriak berantakan. Ada gelegar membahana yang menghajar jantungku, melemparnya ke mana-mana dalam rongga dada.
Aku berdiri di depan sebuah pintu. Sebuah tangan merengkuh bahuku, menepuknya pelan. Aku tahu, si pemilik tangan berusaha menenangkanku. Dia adalah ibu mertuaku yang baik hati. Sementara itu, pintu di hadapanku terasa mengecil, menyempit, membentuk sela-sela di antara himpitan tentara pada merahnya Perang Dunia ke-II yang membara. Bukan. Ini pintu neraka! Di dalamnya bukan lagi merah yang membara, tapi merah yang berkobar! Hawanya cukup untuk menguapkan seluruh air di permukaan kulitku. Oh, bahkan begitu panas, hingga bisa memanggangku menjadi debu dan abu. Sekejap mata kemudian, merah yang berkobar nan berkibar menjadi merah yang berceceran dan segar.
. Di balik pintu ini, aku tidak sedang bergurau, sungguh memang ada ruangan. Di sana ada darah. Ceceran merah segar yang anyirnya bisa kucium dari sini. Ada keringat, yang rembesannya terasa di keningku, mengalir ke punggungku. Ada jerit tertahan yang mencekik tenggorokanku. Ada gemeletuk gigi beradu dalam gerusan perih dan nyeri bertubi. Tulang kakiku hilang, udara di paru-paruku lenyap, otakku tiba-tiba raib. Merah, sedari tadi memang menguasai alam pikirku. Tapi merah yang ada di hadapanku saat ini mencoba merampas seluruh keberanianku. Aku serasa luruh.
Ah, tidak! Aku tidak boleh menciut seperti tentara kalang kabut! Aku sadar, mata seorang wanita yang terbaring di dalam sana membuatku berselempang nyali. Raut wajahnya yang lelah namun berona merah memancarkan kekuatan, menjadikanku seorang pemberani. Aku akan masuk. Aku akan ikut berperang, menghirup jeritannya. Aku akan ikut berperang, memeluk laranya. Aku akan bermandikan keringat dan berlumuran darah. Aku akan berlinang kristal bahagia menyambut harapan kami. Aku akan kumandangkan gema agung atas kemenangan perjuangan ini. Maka, sehebat apapun merah mencoba merampas keberanianku, aku tidak akan gentar. Teriring doa dan asma Sang Maha Segala, aku akan ikut berperang bersamanya dalam merah, menggenggam tangannya, di sisinya.

Dalam Merah di Kota Hujan,
11 Februari 2014
22.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar